Flash Message

Minggu, 04 Desember 2011

Study Penentuan Konsentrasi CO dan Gas Rumah Kaca Di Wilayah Indonesia

Perubahan iklim merupakan tantangan paling serius yang dihadapi dunia pada saat ini.
Sejumlah bukti baru dan kuat yang muncul dalam studi mutakhir memperlihatkan bahwa
masalah pemanasan yang terjadi 50 tahun terakhir disebabkan oleh tindakan manusia yang
mana temperatur dibumi telah naik secara cepat, perubahan iklim juga dipengaruhi oleh
aktivitas matahari dan ozon serta kegiatan vulakanik dan sulfat. Namun sejak tahun 1960-an,
penyebab utama naiknya temperatur bumi adalah akibat efek rumah kaca yang menurut
sebagian ahli disebabkan oleh meningkatnya kandungan gas karbon dioksida dan partikel
polutan lainnya di atmosfer bumi. Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi
gas-gas rumah kaca. Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan
untuk dapat menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga menyebabkan
suhu dipermukaan bumi menjadi hangat. Menurut konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim
(United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC), ada 6 jenis gas
yang digolongkan sebagai GRK, yaitu: karbondioksida (CO2), dinitro oksida (N2O ), metana
(CH4), sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs), dan hidroflorokarbon (HFCs). Gas
rumah kaca berbeda dengan polutan dari segi jangka waktu dampak. Polutan secara langsung
berdampak pada makhluk hidup, sedangkan gas rumah kaca berdampak tidak langsung.
Melalui perantara proses di dalam lingkungan biogeokimia, gas-gas rumah kaca baru
berdampak pada makhluk hidup dan memiliki life time yang relatif lama.
Sifat gas rumah kaca adalah menaikkan suhu bumi dengan cara menangkap radiasi
gelombang pendek dari matahari dan memantulkannya ke bumi. Gas rumah kaca juga
memantulkan radiasi gelombang panjang ke bumi, sehingga bumi seakan-akan mendapatkan
pemanasan dua kali. Dampak dari gas rumah kaca adalah pemanasan global dan efek rumah
kaca. Sedangkan dampak turunan dari pemanasan global salah satunya adalah perubahan
iklim. Naiknya suhu rata-rata bumi adalah salah satu bukti telah terjadi perubahan iklim.
Pemanasan global ini pun mendapatkan radiasi matahari tambahan lagi karena terdapatnya
lubang ozon. Penipisan ozon mengakibatkan radiasi sinar ultraviolet dari matahari yang
masuk ke bumi semakin besar intensitasnya.
Gas rumah kaca dari emisi antropogenik berasal dari beberapa sumber dilihat dari
beberapa sektor, yaitu sektor energi: pemanfaatan bahan bakar fosil seperti minyak bumi,
batu bara dan gas secara berlebihan dalam berbagai kegiatan merupakan penyebab utama
dilepaskannya emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Pembangkitan listrik, penggunaan alat-alat
elektronik seperti AC, TV, komputer, penggunaan kendaraan bermotor dan kegiatan industri
merupakan contoh kegiatan manusia yang meningkatkan emisi GRK di atmosfer. Sektor
kehutanan : kegiatan pengrusakan hutan, penebangan hutan, perubahan kawasan hutan
menjadi bukan hutan, menyebabkan lepasnya sejumlah emisi GRK yang sebelumnya
disimpan di dalam pohon. Sektor pertanian dan peternakan : Dari sektor pertanian, emisi
GRK terutama metana dihasilkan dari sawah yang tergenang, pemanfaatan pupuk,
pembakaran padang sabana, dan pembusukan sisa-sisa pertanian. Dan dari sektor peternakan,
emisi GRK berupa gas metana (CH4) dilepaskan dari kotoran ternak yang membusuk. GRK
berupa metana juga dihasilkan dari sampah.
Menurut IPCC (Intergovernmental On Panel Climate Change) menyatakan jika laju
emisi gas rumah kaca ini dibiarkan terus tanpa terdapat tindakan untuk menguranginya, maka
suhu global rata-rata akan meningkat dengan laju 0.30C setiap 10 tahun. Suhu global rata-rata
tahun 1890 adalah 14.50C dan pada tahun 1980 naik menjadi 15,20C. Menurut Rataq et al
(1998) menyatakan untuk Indonesia kenaikan suhu hanya sekitar 0 sampai 1 derajat.
Sementara skenario dari Peter Whetton (1993) dengan menggunakan model GCM untuk
wilayah Indonesia dihasilkan adanya peningkatan suhu sekitar 0.10C – 0.50C pada tahun 2010
dan tahun 2070 sekitar 0.40C – 3.00C. Indonesia pernah dikejutkan oleh sebuah hasil
penelitian Wetlands Internasional, organisasi yang bergerak di bidang pelestarian dan
pengelolaan lahan basah di dunia, serta Laboratorium Hidrolika di Delft, Belanda yang
menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara penghasil emisi karbondioksida (CO2) terbesar
ketiga didunia setelah Amerika Serikat dan Cina dengan kuantitas emisi yang dihasilkan
mencapai dua miliar ton karbondioksida pertahunnya atau menyumbang sepuluh persen dari
emisi karbondioksida di dunia yang mana salah satu penyumbang terbesarnya adalah
kebakaran hutan dan lahan. Namun hasil penelitian ini banyak digugat oleh peneliti di
Indonesia, salah satunya adalah Sri Woro B harijono (Kepala BMG) menyatakan bahwa
“penelitian itu tidak didukung oleh penilaian ilmiah yang memadai, hasil pemantauan BMG
hingga tahun 2007, emisi karbon dioksida Indonesia secara perkapita masih dibawah standar
kapita global, sampai saat ini fakta ilmiah yang menyebutkan Indonesia sebagai emitter
ketiga terbesar didunia sangatlah lemah, pemantauan di stasiun pengamat dirgantara
kototabang, sumatera barat menunjukan kenaikan tapi masih dibawah standar dunia yang
mengacu pada stasiun pantau di kepulauan hawaii”.
Berdasarkan analisis dan penelitian di atas maka kami sebagai tim dalam penelitian
ini sangat tertarik untuk dapat mengkaji dan menentukan emisi dan konsentrasi gas rumah
kaca khususnya di wilayah Indonesia yang mana belum banyak dilakukan oleh peneliti di
Indonesia. Penelitian kami ini bertujuan untuk mengkaji dan menentukan emisi dan
konsentrasi gas rumah kaca (GRK) serta proyeksinya di beberapa wilayah di Indonesia
berbasis model/perumusan IPCC, khususnya CO2 di Indonesia sehingga diperolehnya besar
emisi dan konsentrasi gas rumah kaca, khususya CO2 di wilayah Indonesia dan
model/program perhitungan GRK berbasis perumusan atau metode IPCC.
Dalam penelitian ini kami menggunakan berbagai data dari beberapa sumber, antara
lain adalah; data statistik energi Indonesia, data statistik kehutanan indonesia dan dunia, data
statistik industri di Indonesia, data jumlah dan proyeksi penduduk di indonesia, data emisi
CO2 global sektor energi di indonesia dari cdiac pada tahun 1971 – 2004, data statistik
peternakan dan perhubungan di indonesia, data konsentrasi GRK dari GAW (Global
Atmospheric Watch) di Kototabang dan seluruh stasiun GAW di dunia, dan data lain-lain
yang menunjang penelitian ini. Data-data yang ada diolah/diestimasi untuk menentukan nilai
emisi gas rumah kaca menggunakan metode IPCC 1996, lalu nilai tersebut di analisis. Begitu
juga nilai data konsenterasi gas rumah kaca dari GAW di plot grafiknya per bulan dan per
tahun kemudian grafiknya di analisis.
Pada penelitian ini, kami sudah melakukan pengolahan data dan perhitungan emisi
gas rumah kaca (CO2, N2O dan CH4) di Indonesia dari sektor energi. Data konsumsi energi
diperoleh dari buku statistik energi Indonesia yang dikeluarkan PEUI (Pengkajian Energi
Universitas Indonesia) dan Handbook statistik ekonomi dan energi di Indonesia yang
dikeluarkan oleh DESDM (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral) pada tahun 2006.
Jadi perhitungan emisinya sampai tahun 2005 sesuai data yang tersedia yaitu sampai tahun
2005. Emisi dihitung dengan menggunakan perumusan IPCC yaitu emisi x (CO2 atau N2O
atau CH4) = konsumsi energi dikalikan dengan faktor emisi x (CO2 atau N2O atau CH4). Yang
mana hasilnya bahwa emisi CO2 dari bahan bakar petroleum lebih besar di bandingkan bahan
bakar lain (batubara, gas dan biomassa). Rata-rata emisi CO2 dari bahan bakar tersebut
mengalami kenaikan baik sampai sekarang ataupun proyeksi kedepannya. Hal ini karena di
proyeksikan konsumsi bahan bakar kedepan semakin meningkat. Berbeda dengan emisi N2O
yang menyatakan bahwa emisi N2O dari bahan bakar batubara lebih besar di bandingkan
bahan bakar lainnya, dan emisinya juga cenderung meningkat. Sedangkan emisi CH4
menunjukan bahwa emisi CH4 dari biomassa lebih tinggi di bandingkan bahan bakar lainnya.
Emisi dari bahan bakar lainnya tidak terlalu mengalami kenaikan.
Dari hasil penelitian ini juga memperlihatkan perbandingan antara gas CO2, CH4 dan
N2O, dimana walaupun nilai GWP (Global Warming Potential) atau indek pemanasan global
CO2 dan N2O lebih besar dibandingkan dengan CO2 namun nilai emisinya masih jauh lebih
kecil dibawah CO2. GWP CH4 adalah 21 artinya 1 CH4 indeks pemanasannya sama dengan
21 kali CO2 dan GWP N2O adalah 310 artinya 1 N2O indeks pemanasannya sama dengan 310
kali CO2. Rata-rata pertumbuhan emisi CO2 adalah sekitar 4.67%/tahun, dan rata-rata
pertumbuhan emisi N2O dan CH4 adalah 3.32%/tahun dan 1.76%/tahun seperti terlihat pada
gambar 6, tahun 1997 ke 1998 emisi gas rumah kaca (CO2, CH4, dan N2O) mengalami
penurunan, hal ini dikarenakan pada tahun 1998 di Indonesia terjadi krisis moneter yang
cukup besar sehingga pemakaian energi pada tahun tersebut berkurang. Namun pada tahun
1998 ke 1999 dan tahun 2004 ke 2005, emisi CO2 mengalami kenaikan yang cukup besar
yaitu 7.26% dan 7.88%, hal ini dikarenakan pemakaian energi yang cukup besar pada tahuntahun
tersebut. N2O dan CH4 juga mengalami kenaikan yang cukup besar yaitu pada tahun
2000, berturut-turut sebesar 5.94% dan 3.07%.
Penelitian ini juga menghitung emisi dari sektor hutan dan kebakaran hutan dengan
menggunakan data statistik kehutanan Indonesia yang dihitung dengan menggunakan metode
IPCC, dimana jumlah luas kebakaran hutan dikalikan dengan faktor emisinya. Dari estimasi
yang dilakukan diperoleh bahwa tahun 1995-1998 emisi CO2 akibat kebakaran hutan di
Indonesia cukup tinggi mencapai 10 jutaan ton dan terjadi penurunan pada tahun 2000
mencapai 57 ribuan ton seperti terlihat pada gambar 1. Fluktuasi penurunan dan kenaikan
emisi CO2 sama juga dengan emisi CH4 dan N2O. Gambar 2 menunjukan emisi dari
kebakaran hutan perwilayah di Indonesia, dari gambar terlihat bahwa daerah kalimantan
timur cukup sering terjadi kebakaran hutan yang membuat emisinya juga cukup besar,
bahkan mencapai 10 jutaan ton. Dari perhitungan, rata-rata emisi N2O dari hutan di setiap
propinsi di Indonesia pada tahun 2000 dan 2005, dimana daerah Irian Jaya sangat besar
emisinya mencapai 250.486 ton pada tahun 2000 dan sekitar 150 ribuan ton pada tahun 2005,
kemudian diikuti oleh Kalimantan Timur mencapai 63.019 ton pada tahun 2000 dan 60
ribuan ton pada tahun 2005. Hal ini ditaksir memang terjadi karena daerah tersebut masih
banyak hutannya, dan setiap tahun hampir selalu terjadi deforestrasi dan kebakaran hutan.
Emisi N2O dari total hutan di Indonesia pada tahun 1997 menurun tajam berkisar 60.000 ton
dan kemudian meningkat lagi sampai mencapai 140 ribu ton pada tahun 2005, seperti terlihat
pada gambar 3. Laju kebakaran hutan per tahun di wilayah Indonesia yang dihitung dari
tahun 1984-2003, menunjukan bahwa daerah yang sering terjadi kebakaran hutan adalah
wilayah Kalimantan Timur mencapai 30.476 hektar per tahun, lalu wilayah Sumatera Selatan
sekitar 8.302 hektar dan wilayah jawa tengah berkisar 6.735 hektar per tahun, sedangkan
wilayah yang hampir tidak ada kebakaran hutan adalah wilayah DKI Jakarta, hal ini memang
bisa terjadi karena di wilayah DKI Jakarta hampir tidak ditemukan adanya hutan. Total
keseluruhan laju kebakaran hutan per tahun di Indonesia mencapai 90.805 hektar per tahun.
Laju kebakaran hutan berbanding lurus dengan laju emisi gas rumah kaca, semakin besar
jumlah kawasan hutan yang terbakar maka akan semakin besar juga emisi gas rumah
kacanya, Sehingga laju emisi gas rumah kaca ketiga terbesar adalah wilayah Kalimantan
Timur, Sumatera Selatan dan Jawa Tengah. Dimana nilai laju emisinya adalah; Kalimantan
Timur (CO2=5.778.432 ton per tahun, CH4=5.485 ton per tahun, N2O=173 ton per tahun),
Sumatera Selatan (CO2=157.409 ton per tahun, CH4=1.494 ton per tahun, N2O=47 ton per
tahun), dan Jawa Tengah (CO2=127.709 ton per tahun, CH4=1.212 ton per tahun, N2O=38 ton
per tahun). Laju emisi gas rumah kaca dari kebakaran hutan per tahun di Indonesia adalah;
CO2 sebesar 1.721.664 ton per tahun, CH4 berkisar 16.344 ton per tahun dan N2O sebesar 517
ton per tahun.
Emisi CO2 dari Kebakaran Hutan di Indonesia
0
2000000
4000000
6000000
8000000
10000000
12000000
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1998
2000
2002
Tahun
Emisi CO2 (Ton)
Emisi CO2 dari Kebakaran Hutan di Wilayah Indonesia (1984-2003)
1
10
100
1000
10000
100000
1000000
10000000
Tahun
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan
Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta
Jawa Timur Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara
Maluku Papua
Gambar 1. Emisi CO2 dari Kebakaran hutan di
Indonesia (1984-2003)
Gambar 2. Emisi CH4 dari Kebakaran hutan di
Indonesia (1984-2003)
Emisi N2O dari Hutan di Indonesia (1983-2005)
0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
160,000
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
Tahun
emisi N2O (Ton)
Gambar 3. Emisi N2O total dari hutan di Indonesia (1983-2005)
Penelitian ini juga telah mengestimasi gas CO2, CH4 dan N2O yang diemisikan dari
penggunaan energi oleh industri, jadi bukan dari proses industri. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari tahun 1990 sampai 2003 emisi gas CO2 yang terbesar berasal dari
konsumsi kayu bakar, sedangkan yang terkecil adalah dari konsumsi LPG. Ini bisa terjadi
karena konsumsi LPG termasuk yang paling kecil dibanding energi lain sehingga emisi gas
CO2 dari konsumsi LPG adalah yang paling kecil. Sedangkan koefisien emisi CO2 dari kayu
bakar adalah yang terbesar sehingga emisi gas CO2 dari konsumsi kayu bakar adalah yang
terbesar. Emisi metan (CH4) pada sektor industri dari konsumsi energi menunjukkan bahwa
emisi CH4 yang terbesar berasal dari konsumsi kayu bakar, sedangkan yang terkecil berasal
dari konsumsi LPG. Ini bisa terjadi karena koefisien emisi metan dari LPG termasuk yang
paling kecil dibanding energi lain, selain itu konsumsi LPG termasuk yang paling kecil
dibanding energi lain, sehingga emisi gas metan dari konsumsi LPG adalah yang paling
kecil. Sedangkan koefisien emisi metan dari kayu bakar adalah yang terbesar sehingga emisi
gas metan dari konsumsi kayu bakar adalah yang terbesar. Dari hasil perhitungan emisi gas
N2O pada sektor industri dari konsumsi energi menunjukkan bahwa emisi gas N2O yang
terbesar berasal dari konsumsi kayu bakar, sedangkan yang terkecil berasal dari konsumsi
LPG. Ini bisa terjadi karena koefisien emisi N2O dari LPG termasuk yang paling kecil
dibanding energi lain, selain itu konsumsi LPG termasuk yang paling kecil dibanding energi
lain, sehingga emisi gas N2O dari konsumsi LPG adalah yang paling kecil. Sedangkan
koefisien emisi N2O dari kayu bakar adalah yang terbesar sehingga emisi gas N2O dari
konsumsi kayu bakar adalah yang terbesar.
Hasil perhitungan emisi CO2 dari sampah yang terurai di kota-kota besar di Indonesia
nampak bahwa emisi gas CO2 yang terbesar adalah dari kota Jakarta, sedangkan yang
terkecil adalah dari Yogyakarta. Emisi gas metan dari sampah di kota-kota besar di Indonesia
yang terbesar adalah dari kota Jakarta, sedangkan yang terkecil adalah dari kota Yogyakarta.
Emisi metan dan CO2 dari sampah di kota Jakarta menunjukkan bahwa emisi metan lebih
besar dari pada CO2, dan dari tahun ke tahun emisi kedua GRK tersebut berfluktuasi. emisi
metan dan CO2 dari sampah di kota Bandung menunjukkan bahwa emisi metan lebih besar
dari pada CO2, dan dari tahun ke tahun emisi kedua GRK tersebut berfluktuasi. emisi gas
CO2 dan metan dari kota Jakarta-lah yang terbesar diantara Bandung, Medan, Surabaya,
Semarang dan Yogyakarta. Ini mengapa bisa terjadi demikian? Hal ini dikarenakan
perkiraan produksi sampah di Jakarta dibanding kota-kota lainnya adalah yang terbesar,
maka emisi gas CO2 dan metan-pun yang terbesar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Visitors

Designed by Animart Powered by Blogger