Flash Message

Selasa, 08 November 2011

Pengaruh Gas Rumah Kaca Terhadap Perairan Laut

Dampak Perubahan Iklim Terhadap Perikanan Perubahan iklim dapat mengubah rantai makanan laut secara keseluruhan dan sumberdaya perikanan khususnya. Berubahnya rantai makanan akan memberikan perubahan struktur populasi perikanan yang tidak dikehendaki. Fenomena ini sudah banyak teramati di Indonesia, antara lain ditandai dengan bergesernya musim ikan, dan berubahnya fishing ground kelompok ikan jenis tertentu.

Skenario yang tidak menyenangkan ini tidak hanya terbatas pada perikanan tangkap, tapi juga terhadap perikanan budidaya antara lain melalui pengaruh berbahaya kualitas air, peningkatan penyakit pest dan penyakit-penyakit lainnya. Bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, skenario ini akan lebih mengkhawatirkan. Peningkatan muka laut terjadi bersamaan dengan peningkatan frekuensi bencana yang berisiko hilangnya pemukiman.

Bagi kita di Indonesia, skenario ini akan sangat tidak menyenangkan mengingat jutaan penduduk tinggal di kawasan yang rawan tersebut. Sebagaimana kita ketahui, lebih dari 60 persen populasi Indonesia tinggal di sepanjang garis pantai, membentang lebih dari 95 ribu km, maka bukan saja pemukiman yang akan hilang namun juga mata pencaharian dan sangat mungkin rusaknya struktur dan tatanan sosial yang telah terbentuk selama berabad-abad di komunitas pesisir. Sumberdaya laut kita berada pada situasi yang kritis dan terancam.

Di beberapa wilayah dunia, perubahan iklim telah mempercepat kehancuran tersebut. Banyak kekhawatiran bahwa proses yang menyebabkan perubahan iklim tersebut adalah di luar kendali sehingga mengakibatkan penurunan sumberdaya dan meningkatkan kompetisi dari sumberdaya yang tertinggal. Dari sudut pandang teknis, banyak solusi-solusi potensial yang mudah atau setidaknya mungkin untuk dilakukan dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi yang ada sekarang.

Untuk dampak yang tidak dapat dihindarkan, ada banyak strategi adaptasi dan mitigasi yang dapat dilakukan. Bagaimanapun, lebih banyak penelitian baik penelitian dasar maupun terapan yang masih dibutuhkan, khususnya yang terkait dengan peran dan dampak lingkungan laut yang masih sedikit dimengerti dibandingkan dengan fenomena atmosfir daratan. Pengukuran adaptasi dan mitigasi sangat penting dilakukan tidak hanya untuk menyelamatkan sumberdaya laut dan pesisir tapi juga untuk menyelamatkan masyarakat pesisir. Perubahan pola dan distribusi hujan Pola dan distribusi curah hujan terjadi dengan kecenderungan bahwa daerah kering akan menjadi makin kering dan daerah basah menjadi makin basah.

Konsekuensi-nya adalah bahwa kelestarian sumberdaya air juga akan terganggu. Di Indonesia dikenal 3 macam pola distribusi hujan, yaitu pola monsun (monsoonal), ekuatorial dan lokal. Pertama, daerah yang sangat dipengaruhi oleh monsun memiliki pola hujan dengan satu pucak (unimodal). Ciri dari pola ini adalah adanya musim hujan dan kemarau yang tajam dan masing-masing berlangsung selama kurang lebih 6 bulan, yaitu Oktober – Maret sebagai musim hujan dan April – September sebagai musim kemarau. Kedua, daerah yang dekat dengan ekuator dipengaruhi oleh sistem ekuator dengan pola hujan yang memiliki dua puncak (bimodal), yaitu pada bulan Maret dan Oktober saat matahari berada di dekat ekuator. Ketiga, daerah dengan pola hujan lokal, dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal dengan puncak yang terbalik dibandingkan dengan pola hujan monsun yang disebutkan di atas.

Menurut Murdiyarso, (1994) Perubahan iklim (khususnya suhu dan curah hujan) tidak hanya menyebabkan perubahan volume defisit atau surplus air, tetapi juga periode daerah itu mengalami surplus atau defisit. Dalam suatu studi hidrologi daerah aliran sungai (DAS) di daerah ekuatorial seperti Sulawesi, perubahan iklim (dengan konsentrasi CO2 atmosfer 2 kali lipat dibanding http://climatechange.menlh.go.id – Climate Change – Indonesia Powered by Mambo Open Source Generated: 1 November, 2009, 22:41 konsentrasi pada zaman pra-industri yang hanya 280 ppm) akan menyebabkan DAS tersebut tidak mengalami defisit sementara surplusnya meningkat dua kali lipat. Sedang DAS di daerah monsun seperti Jawa, surplus air hanya sekitar 30% dengan periode defisit yang lebih pendek dibanding jika iklim tidak berubah.

Efek rumah kaca, yang pertama kali diusulkan oleh josep fourier pada 1824, merupakan proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya. mars , venus , dan benda langit beratmosfer lainnya (seperti satelit alami saturnus, titan) memiliki efek rumah kaca, tapi artikel ini hanya membahas pengaruh di bumi. Efek rumah kaca untuk masing-masing benda langit tadi akan dibahas di masing-masing artikel. Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah kaca ditingkatkan yang terjadi akibat aktivitas manusia (lihat juga pemanasan global). Yang belakang diterima oleh semua; yang pertama diterima kebanyakan oleh ilmuwan, meskipun ada beberapa perbedaan pendapat. Penyebab Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya.Energi yang masuk ke bumi mengalami : 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer 25% diserap awan 45% diadsorpsi permukaan bumi 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi.

Energi yang diadsoprsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar infra merah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda. Selain gas CO, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah sulfur dioksida , nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana dan khloro fluoro karbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.   Uap air (H2O) pun sebenarnya merupakan GRK yang dapat dirasakan pengaruhnya ketika menjelang turun hujan. Udara terasa panas karena radiasi gelombang-panjang tertahan uap air atau mendung yang menggantung di atmosfer. Namun demikian karena keberadaan (life time) H2O sangat singkat (2-3 hari), maka uap air bukanlah GRK yang efektif. Sementara itu untuk CO2, CH4, dan N2O keberadaannya di atmosfer berturut-turut adalah 100, 15, dan 115 tahun. Akibat Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan adanya perubahan iklim yang sangat ekstrim di bumi. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer. Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut.

Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar. Menurut perhitungan simulasi, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-5 °C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5 °C sekitar tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat. Sebagai konsekuensinya kejadian banjir akan meningkat karena menurunnya daya tampung sungai akibat peningkatan limpasan permukaan dan menurunnya daya tampung sungai dan waduk akibat peningkatan erosi dan sedimentasi. Secara global catatan bencana banjir menunjukkan peningkatan yang signifikan selama 40 tahun terakhir dengan kerugian ekonomis ditaksir sekitar US$ 300 milyar pada dekade terakhir dibanding hanya US$ 50 milyar pada dekade tahun 1960-an.

Kawasan pesisir merupakan daerah yang paling rentan dari akibat kenaikan muka-laut. Dalam 100 tahun terakhir, mukalaut telah naik antara 10-25 cm. Meskipun kenyataannya sangat sulit mengukur perubahan muka-laut, tetapi perubahan tersebut dapat dihubungkan dengan peningkatan suhu yang selama ini terjadi. Dalam 100 tahun perubahan suhu telah meningkatkan pemuaian volume air laut dan meningkatkan ketinggiannya. Demikian juga penambahan volume air laut juga terjadi akibat melelehnya gletser dan es di kedua kutub bumi.

Dari berbagai skenario, peningkatan tersebut berkisar antara 13 hingga 94 cm dalam 100 tahun mendatang. Kenaikan permukaan laut yang membawa dampak luas bagi manusia; terutama bagi penduduk yang tinggal di dataran rendah, di daerah pantai yang padat penduduk di banyak negara dan di delta-delta sungai. perubahan iklim dapat menyebabkan perubahan arah angin dengan ekstrem. Apabila perubahan arah angin itu disertai kenaikan permukaan paras air laut, akan terjadi gelombang pasang. Akibatnya, nelayan tidak bisa melaut. Kalaupun nelayan memaksakan pergi, risikonya demikian besar. Selain belum tentu mendapatkan ikan, nyawa menjadi taruhannya. Naiknya temperatur laut juga bisa menyebabkan terumbu karang mengalami pemutihan, lalu mati.

Pemutihan karang ditandai dengan hilangnya alga yang bersimbiosis dengan karang sehingga ikan-ikan yang hidupnya bergantung pada ekosistem terumbu karang akan bermigrasi. Selain itu, meningkatnya suhu permukaan air laut menyebabkan beberapa jenis ikan akan beradaptasi dengan mengubah kelaminnya menjadi jantan. Akibatnya, suatu kawasan tertentu akan didominasi ikan berjenis kelamin jantan. Hal itu tentu saja bisa mengancam perkembangbiakan ikan. ”Para prinsipnya perubahan iklim akan menyebabkan biota laut yang sensitif terancam punah, sedangkan biota yang adaptif akan mempertahankan hidupnya dengan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.

Kamis, 03 November 2011

Isu Efek Gas Rumah Kaca Adalah Pembodohan Negera Maju Kepada Kita



Efek rumah kaca merupakan gejala peningkatan suhu dipemukaan bumi yang terjadi karena meningkatnya kadar CO2 (karbon dioksida) di atmosfer. Gejala ini disebut efek rumah kaca karena diumpamakan dengan fenomena yang terjadi di dalam rumah kaca.
Pada rumah kaca, sinar matahari dapat dengan mudah masuk ke dalamnya. Sebagian sinar matahari tersebut digunakan oleh tumbuhan dan sebagian lagi dipantulkan kembali ke arah kaca. Sinar yang dipantulkan ini tidak dapat keluar dari rumah kaca dan mengalami pemantulan berulang-ulang. Energi yang dihasilkan meningkatkan suhu rumah kaca sehingga rumah kaca menjadi panas.
Di bumi, radiasi panas yang berasal dari matahari ke bumi diumpamakan seperti menembus dinding kaca rumah kaca. Radiasi panas tersebut tidak diserap seluruhnya oleh bumi. Sebagian radiasi dipantulkan oleh benda-benda yang berada di permukaan bumi ke ruang angkasa. Radiasi panas yang dipantulkan kembali ke ruang angkasa merupakan radiasi infra merah. Sebagian radiasi infra merah tersebut dapat diserap oleh gas penyerap panas (disebut: gas rumah kaca). Gas penyerap panas yang paling penting di atmosfer adalah H2O dan CO2. Seperti kaca dalam rumah kaca, H2O dan CO2 tidak dapat menyerap seluruh radiasi infra merah sehingga sebagian radiasi tersebut dipantulkan kembali ke bumi. Keadaan inilah yang menyebabkan suhu di permukaan bumi meningkat atau yang disebut dengan pemanasan global (global warning).

Bahkan pada saat nara sumber mulai memaparkan berbagai akibat dan bencana alam yang ditimbulkan efek gas rumah kaca dan pemanasan global, maka cara pandang dan mind set saya sudah 100 % sama seperti mind set nara sumber.

Hanya saja ketika nara sumber menginjak memaparkan kaitannya dengan masalah pinalti dan factor ekonomi - yang disitu dicontohkan – salah satunya bahwa karena keterkaitannya dengan efek gas rumah kaca maka Negara kita ternyata terkena “ sangsi “ dimana kita tidak boleh dan DILARANG mengekspor CPO kita jika ditanam di lahan gambut ( dan juga beberapa contoh sangsi ekonomis lainnya ) dan juga bahkan mereka ( negara maju ), menuding bahwa sector Pertanianlah ( Indonesia termasuk Negara agraris ) yang merupakan salah satu penyumbang terbesar efek gas rumah kaca, tiba-tiba saja pola pikir dan mind set saya tentang efek gas rumah kaca bergeser bahkan berbalik mendekati 180 %.

Saya pikir, ini tidak beres, aneh dan patut dipertanyakan !
Setidaknya ada 2 :

Pertama :
Bahwa efek gas rumah kaca, sudah mereka ( Negara maju ) ketahui tidak hanya dalam dasa warsa belakangan ini, tapi sudah jauuuh dari dulu. Tapi anehnya baru dasa warsa belakangan ini mereka gerah, bahkan berteriak keras tentang hal tersebut. Dan menekan Negara-negara berkembang untuk segera mengurangi bahkan menghentikan laju gas rumah kaca tersebut.
Sedangkan sudah diketahui, Revolusi Industri yang dilakukan Negara majulah penyumbang terbesar meningkatnya konsentrasi gas CO2 dan sejenisnya dalam beberapa abad belakangan ini !
Ini tidak beres !

Kedua :
Dilihat dari efek yang ditimbulkan ( perubahan iklim dan terjadinya banyak bencana alam ) sebenarnya negara berkembanglah yang paling banyak terkena dampaknya dan menderita. Negara maju, meski juga terkena, tapi tidaklah separah Negara-negara berkembang.
Sebagai Negara maju, yang notabene adalah kapitalis sejati, dan selalu berorientasi pada factor ekonomi maka hal ini adalah ANEH !
Sedangkan “biasanya” jika Negara berkembang semakin menderita, semakin terbuka peluang Negara maju tersebut memberikan bantuan dan mencengkeramkan pengaruhnya.
( Meskipun bantuan yang diberikan sebenarnya “tidak terlalu banyak“.
Contoh : keseluruhan bantuan Amerika ke semua Negara-negara di Afrika adalah 1,8 Milyar Dollar US setahun. Bandingkan, bantuan yang diberikan kepada hanya untuk “mitranya” Israel guna memperkuat pertahanan negaranya, juga = 1,8 Milyar Dollar US setahun ! ).

Maka bisa diasumsikan, bahwa Negara-negara maju kelihatan gerah dan berteriak keras dasa warsa belakangan ini karena :

1. Saat ini mereka setidaknya sudah mampu meninggalkan teknologi yang banyak menghasilkan gas rumah kaca sedangkan Negara-negara berkembang masih harus berkutat dengannya.
2. Teknologi baru mereka perlu pembeli potensial, yang dalam hal ini tentu saja Negara-negara berkembang.
3. Mereka ingin memberi proteksi produk dalam negeri mereka dan menghambat laju pertumbuhan Negara-negara berkembang.

Untuk tujuan tersebut fenomena efek gas rumah kaca dengan peningkatan emisi CO2 adalah alasan yang dianggap paling logis sebagai kambing hitam untuk memperkuat kepentingan mereka.

Hanya saja ketika saya mencoba menyampaikan asumsi dan pernyataan ini pada acara diskusi seminar tersebut, keburu dipotong moderator dengan alasan waktu telah habis ( atau memang dihabisi ) dan dianggap terlalu menyimpang dari topik utama.
Sedang sang nara sumber masih cukup bijaksana mau memberikan beberapa jawaban dan penjelasan dengan memberikan beberapa contoh penyimpangan fenomena alam yang terjadi akibat pemanasan global, meski bagi saya belum cukup memuaskan. Dan seminar keburu selesai.

Dari jawaban akhir tersebut justru menimbulkan minat dan rasa penasaran saya untuk mempelajari lebih lanjut, sehingga pada akhirnya mencoba mencari-cari jawaban yang lebih dapat diterima.

Dan setelah beberapa lama akhirnya dapat beberapa materi dan data yang justru “berlawanan” dengan mind set dampak efek gas rumah kaca terhadap pemanasan global yang dicoba ditanamkan selama ini, yang “katanya” menyebabkan naiknya muka air laut, penurunan muka tanah, mencairnya es kutub, banjir, naiknya suhu dan perubahan iklim, gagal panen dan sebagainya.

Kurang lebihnya sebagai berikut :

Terjadinya es kutub mencair, naiknya muka air laut, banjir, dituding efek gas rumah kaca adalah biang keroknya.
Jika dihubungkan pada naiknya suhu bumi ada benarnya.
Pertanyaannya : apakah mencairnya es kutub, naiknya muka air laut serta banjir besar yang pernah menenggelamkan bumi beribu tahun lalu ( banjir besar Nabi Nuh ) adalah karena efek gas rumah kaca.
Jawaban yang pasti adalah TIDAK. Karena waktu itu tentu belum banyak yang namanya CO2, SO2 dsb, karena memang belum banyak manusia dan aktivitasnya.

Lalu, naiknya suhu bumi, perubahan iklik yang drastis sehingga banyak wilayah menjadi gurun pasir, juga beribu tahun lalu juga karena efek gas rumah kaca ?
Jawaban yang pasti juga TIDAK !
Karena waktu itu belum ada yang namanya bahan bakar fosil dan sebagainya.
Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.
Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.

Terlebih lagi jika kita simak beberapa temuan astronomi, kosmologi oleh para ilmuwan ( dan NASA ) beberapa dekade belakangan ini, akan lebih mencengangkan, diantaranya :



1. Bahwa aktivitas matahari mempunyai variasi. Variasi Matahari adalah perubahan jumlah energi radiasi yang dipancarkan oleh Matahari. Terdapat beberapa komponen periodik yang mempengaruhi variasi ini, yang terutama adalah siklus matahari 11-tahunan (atau siklus bintik hitam matahari), selain fluktuasi-fluktuasi lainnya yang tidak periodic. Diyakini aktivitas matahari semakin meningkat, makin panas, terbukti makin banyak ditemukannya “ sun spot “ sebagai indikasinya. Bumi semakin panas akibat dari matahari yg semakin bergejolak. matahari dalam seabad ini muncul bintik2 matahari akibat ledakan energi hidrogen. berdasarkan penelitian, ternyata semakin banyak jumlah bintik2 itu, maka energi panas yg dipancarkan oleh matahari juga semakin tinggi yang akan mempengaruhi juga panas di bumi.

Bahkan banyak diramalkan bahwa beberapa tahun mendatang akan terjadi badai matahari, sehingga “jilatan” panas apinya akan mencapai beribu-ribu kilometer.

Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA telah memberi peringatan bahwa, badai Matahari berpotensi terjadi pada 2013 -- yang bisa merusak alat-alat elektronik dan satelit buatan manusia.
Lapisan korona Matahari sejak lama diyakini sebagai tempat pembentukan jilatan api (solar flares) yang melemparkan partikel-partikel ke luar angkasa -- yang kemudian menciptakan fenomena cuaca luar angkasa. Ketika aktivitas Matahari serta pembentukan jilatan api meningkat, dapat menghasilkan fenomena badai Matahari yang dapat memicu bencana di Bumi.



2. Sinar Alam Smesta, sinar Gamma dan sebagainya adalah Sebab Utama Pemanasan Global
Sebuah percobaan yang dilakukan ilmuwan beberapa bulan yang lalu menunjukkan, bahwa dalam proses terbentuknya lapisan awan, sinar alam semesta mungkin berperan penting timbulnya pemanasan global.

Sinar alam semesta
adalah suatu arus partikel yang memiliki energi yang kuat, dan terjadi di bintang tetap. Arus partikel bermuatan listrik terus menerus membombardir Bumi, menghasilkan ion bermuatan listrik di atmosfer. Ion-ion ini seperti magnet, menarik uap air mengembun, kemudian menjadi awan.
Ilmuwan menggunakan sinar ultraviolet mereproduksi sinar alam semesta, dan menurut hasil penelitian terkait, bahwa gugusan ozon, karbondioksida dan air di atmosfer, di mana ketika menarik uap air berperan sebagai materi apung, yang kemudian menjadi awan. Jumlah gugusan ozon dengan jumlah ion yang muncul bernilai sebanding, jumlah ion terutama tergantung pada frekuensi sinar alam semesta mencapai Bumi.
Dalam jurnal Astrophysical Journal Letters edisi 1 Agustus 2010 bahkan disebutkan secara detil Penemuan oleh IceCube mengenai sinar kosmik ini. Sinar kosmik dengan pola aneh tak beraturan membombardir Bumi dari luar angkasa. Fenomena ini ditangkap oleh eksperimen IceCube Neutrino Observatory yang dibangun jauh di dasar lapisan es Antartika.

3. Efek umpan balik
Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri.

Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.

Dari ketiga temuan dan data tersebut sebenarnya ( hampir ) bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa efek gas rumah kaca ( akibat naiknya konsentrasi gas CO2, SO2, dan sejenisnya ) bukanlah penyebab utama terjadinya pemanasan global dan berbagai bencana.
Terlebih lagi jika ditambah beberapa temuan tambahan sbb :


Click this bar to view the original image of 640x338px.


1. Kutub utara dan selatan bertukar tempat
Setiap beberapa ratus tahun, kutub magnet Bumi terbalik. “Masalahnya bukan terletak pada perubahan tempatnya, namun medan magnet bumi ini akan menarik radiasi matahari di sekitar kutub,” jelas penulis buku Implied Spaces, Walter Jon Williams. “Jadi, jika kutub bertukar tempat maka banyak penduduk yang akan terbakar.”

Menurut sejumlah ilmuwan, pergeseran ini lebih besar dibandingkan dengan yang mereka perkirakan. Peneliti menemukan, pergeseran massa air di seluruh dunia, dikombinasikan dengan apa yang disebut dengan post-glacial rebound, telah menggeser permukaan bumi dari pusatnya sebanyak 0,035 inci atau 0,88 milimeter per tahun ke arah kutub utara.
Post-glacial rebound merupakan efek balik dari permukaan padat bumi terhadap berkurangnya gletser dan hilangnya beban berat. Dengan berkurangnya gletser pada akhir jaman es, tanah di bawah es mulai naik dan terus naik. Untuk itu, seperti sudah diperkirakan, lapisan padat di permukaan akan bergerak ke utara sebagai efek dari pusat massa planet.
Saat menghitung perubahan ini, para ilmuwan mengombinasikan data gravitasi dari NASA dan satelit German Aerospace Center Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE) yang mengukur pergerakan permukaan bumi lewat GPS dan model yang dikembangkan oleh Jet Propulsion Laboratory (JPL) milik NASA yang memperkirakan massa samudra di atas setiap titik di dasar samudera.

2. Benda-benda angkasa : meteorit, asteroid, komet ( atau bahkan planet NIBIRU ) yang mendekati atau masuk ke atmosfir bumi.


TIM ilmuwan Kobe University, Jepang,menemukan sebuah planet baru yang mengorbit di sisi paling luar sistem tata surya tempat Bumi berada, NIBIRU. Telah banyak saintis sebelumnya memprediksi akan keberadaan planet dan bencana yg diakibatkan dari planet ini. Periode planet ini berpapasan dg bumi selama 3600 th sekali (tepatnya 3661 th). Dan selama setiap periode itu tercatat akibat grafitasi pd planet ini bencana2 besar terjadi dibumi bahkan memusnahkan peradaban2 besar. koran “Washington Post” mencatat hasil wawancara dengan ilmuwan JPL IRAS. ” sebuah planet yang sangat besar kira-kira sebesar planet raksasa jupiter dan kemungkinan sangat dekat dengan bumi yang nantinya akan menjadi bagian dari sistem tata surya kita telah ditemukan dalam dalam konstelasi Orion. “
“Nibiru” adalah secara keseluruhan tidak bisa dihuni, dan sangat berbahaya.saat bintang hitam berada di posisi perihelion(jarak terdekat dari matahari) sekutar 60AU sampai 70AU, orbit nibiru, yang dalam 60Au dari induknya, mempunyai orbit yang cukup jauh untuk memotong orbit tata surya kita, sering disebut dengan orbit jupiter, tapi info ini masih simpang siur. orbit nibiru adalah 30 derajat menuju sistem tata surya kita ( eliptic) seperi pluto. dan akhirnya Nibiru memotong orbit tata surya kita, dan seringkali dalam pemotongan ini, planet-planet yang lain mengalami efek-efek buruk seperti pemindahan orbit planet. Jika bumi bergerak diantara Nibiru dan matahari, maka efek terburuk dimungkinkan terjadi, seperti : pergantian kutub dan visual bumi,gempa bumi yang sangat besar,dan mega tsunami menimpa bumi.

3. Belum lagi efek fenomena alam lain, seperti debu abu vulkanik dan sebagainya.

Jadi secara logis sebenarnya dapat ditarik satu kesimpulan bahwa :

1. Dari tinjauan di atas, fenomena alam dan siklusnya-lah yang sebenarnya lebih bertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global dan bencana alam di bumi ini.

2. Meski tidak dipungkiri bahwa aktivitas manusia yang banyak menghasilkan gas CO2,SO2, Methan dsb, menyebabkan efek gas rumah kaca yang ikut andil dalam pemanasan global, namun dampak efek gas rumah kaca tidaklah seperti yang diteriakkan dan ditudingkan ( kepada Negara berkembang ) oleh Negara maju sebagai yang paling bertanggung jawab dan kambing hitam terjadinya pemanasan global.

Juga, Bisa jadi sangat logis jika dikatakan bahwa isu efek gas rumah kaca yang sengaja dihembuskan adalah untuk kepentingan ekonomi kapitalis, melindungi diri sendiri dengan mengkambing hitamkan Negara-negara berkembang agar tetap terus ketinggalan.

Namun seperti uraian diawal, sebenarnya saya awam dalam teknologi ini, terlebih lagi bukan ilmuwan. Jadi semua asumsi dan penalaran yang telah saya sampaikan bisa jadi salah. Tapi bisa jadi juga benar. Dan tentu harus dibuktikan secara ilmiah pula pada temuan lebih lanjut.

Hanya saja masalahnya - jika asumsi saya benar – alangkah begitu menyedihkannya kita, begitu mudah dibodohi, dikadali oleh Negara-negara yang terlebih dulu maju dari pada kita.
( Mohon maaf, mind set yang telah tertanam di sebagian besar benak kita – bahwa efek gas rumah kacalah actor utama terjadinya berbagai macam bencana !).

Sedangkan merekalah – para Negara maju – yang berbuat, kitalah yang harus menanggung akibatnya. Dan selalu ditekan agar terus berkutat dengan hal itu sehingga “lupa” mengejar ketertinggalan kita.

Pemanfaatan Gas Rumah Kaca Sebagai " Green Solvent "

Pemanasan global merupakan isu yang hangat dibicarakan beberapa dekade terakhir.Salah satu hal yang terkait dengan isu tersebut adalah efek rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi sebagai karena gas rumah kaca terjebak di atmosfer sehingga membentuk suatu lapisan yang mencegah refleksi panas keluar bumi. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan temperatur di permukaan bumi. Carbon dioksida (CO2), salah satu gas rumah kaca yang paling dominan menyebabkan terjadinya pemanasan global dengan pertumbuhan emisi mencapai lebih dari 28 Gton/tahun.



Bagi kebanyakan orang, CO2 menjadi momok akibat efek rumah kaca yang ditimbulkannya. Namun, dibalik dampak negatif yang ditimbulkan, CO2 dapat memberikan manfaat bagi perkembangan teknologi. Dari karakteristik yang dimiliki CO2, yaitu memiliki titik kritis yang relatif rendah (Tc = 31.1oC, Pc = 73.8 bar). Rendahnya titik kritis CO2 memberikan banyak keuntungan dalam proses pemanfaatanya.


405129aa.2

Pada kondisi diatas titik kritis, CO2 berada pada kondisi superkritis sehingga lebih dikenal dengan superkritis karbon diokida (superkritis CO2). Kondisi operasional yang sering kali dipakai dalam dunia industri adalaha pada range temperatur dibawah 200oC dan range tekanan dibawah 400 bar. Dilihat dari titik kritis yang dimiliki, CO2 dapat mencapai kondisi superkritis pada temperatur dan tekanan yang relatif rendah sehingga secara operasional hanya memerlukan biaya yang relatif sedikit.

Superkritis CO2 memiliki karakteristik yang sangat unik: memiliki kerapatan seperti cairan sekaligus memiliki kemampuan difusi seperti gas dan juga memiliki nilai tegangan permukaaan nol. Dari keunikan inilah superkritis CO2 dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pelarut dalam berbagai proses. Dengan kerapatan seperti cairan, superkritis CO2 dapat digunakan sebagai pengganti pelarut organik.

Kemampuan difusi/penetrasi seperti gas, superkritis CO2 dapat dikeluarkan/diuapkan dari material tanpa menyisakan residu. Dengan rendahnya tegangan permukaan, superkritis CO2 dapat melakukan kontak dengan sempurna tehadap material-material lain. Selain itu, keuntungan secara ekonomis dari pemanfaatan CO2 adalah harganya yang relatif murah (kurang dari $0.5/kg).

DeSimone merupakan peneliti yang banyak mengembangkan penelitian berkaitan dengan pemanfaatan superkritis CO2. Pada tahun 1992, DeSimone berhasil mensintesa kelompok fluoropolymer (contoh: teflon) menggunakan superkritis CO2. Dia juga berhasil mensintesa kopolimer (polimer yang terdiri dari 2 jenis monomer) golongan fluoropolymer dengan metode yang sama. Penggunaaan superkritis dalam proses sintesa tersebut menggeser penggunaan pelarut CFC (Chloro Fluoro Carbon) yang berdampak negatif pada penipisan ozon.


Selain itu, bersama MiCell Technologies, Dia mengembangkan sistem dry cleaning yang aman dengan menggunakan superkritis CO2. Pada sistem dry cleaning yang dikembangkan tersebut, proses pembersihan dilakukan dengn prinsip ekstraksi/pemisahan dengan superkritis CO2 sebagi pelarut.

Superkritis CO2 menggantikan tetrachloroethylene yang digunakan sebagai pelarut dalam proses dry cleaning sejak tahun 1940an. Tetrachloroethylene memiliki daya pembersih yang sangat bagus, stabil, dan tidak mudah terbakar. Namun, senyawa tersebut merupakan kelompok senyawa karsinogenik. Penggunaan superkritis CO2 ini memberikan arti positif bagi penurunan penggunaan senyawa karsinogenik.


Pada industri makanan, superkritis CO2 juga dapat digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang tidak diperlukan oleh tubuh manusia. Superkritis CO2 dapat memisahkan cafein dari kopi tanpa mengurangi kekhasan dari aroma kopi sendiri. Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam yang mengandung senyawa-senyawa aktif yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Superkritis CO2 dapat digunakan sebagai pelarut alternatif ”green solvent” nuntuk mengekstrak/mengambil senyawa – senyawa aktif yang dapat digunakan untuk kehidupan manusia.

Pada bidang-bidang biomedis, proses – proses pembuatan, modifikasi dari polymer – polymer sudah mulai bergeser dari penggunaan pelarut organik ke penggunaan superkritis CO2. Pemanfaatan pada bidang ini didasarkan pada sifat superkritis CO2 yang memiliki karakteristik gas. Dalam biomedis, diperlukan material berpori yang dapat menjadi media tumbuh dari sel dalam tubuh manusia. Dengan kemampuan difusi/penetrasi seperti gas, superkritis CO2 dapat dengan mudah masuk ke dalam bahan polimer sehingga terbentuk pori-pori. Dengan karakteristik seperti gas tersebut, superkritis CO2 dapat dengan mudah keluar dari material biomedis sehingga produk – produk biomedis tidak mengandung sisa pelarut seperti yang seringkali terjadi pada penggunaan pelarut organik.



Pada bidang biopolymer, mulai dikembangkan penelitian proses-proses pembuatan atau modifikasi menggunakan superkritis karbon dioksida. Perkembangan terkini, Biomaterial Research Center Korea Institute of Science and technology telah mengoptimalisasi pemanfaatan superkritis CO2 dipadu dengan sedikit pelarut organik untuk proses modifikasi biopolimer polilaktida. Sistem yang dikembangkan dikenal sebagai superkritis CO2-pelarut (Supercritical CO2-solvent system). Produk modifikasi biopolimer tersebut dikenal sebagai stereokomplek polilaktida yang memiliki titik leleh lebih tinggi 50oC dibanding polilaktida biasa. Stereokomplek polilaktida terbentuk karena adanya interaksi antara poli D-laktida dengan poli L-laktida.



Dalam system tersebut, kelemahan superkritis CO2 untuk melarutkan biopolymer polilaktida ditanggulangi dengan penambahan sedikit pelarut organic. System tersebut dapat berhasil menggeser metode – metode yang umum dipakai dalam proses pembuatan stereokomplek polilaktida, seperti metode solution casting (dengan pelarut organic) dan melt blending (proses pelelehan polimer). Metode – metode umum yang digunakan sangat sulit untuk menghasilkan stereokomplek polilaktida 100% terutama pada polilaktida dengan bobot molekul di atas 100 000 g/mol. Metode superkritis CO2-pelarut berhasil dengan sempurna menghasilkan stereokomplek 100%.


Memang benar jika semua yang ada di muka bumi selalu memiliki manfaat jika kita mau memperlajarinya. Sama halnya dengan gas rumah kaca (CO2), dibalik ancaman efek negatif yang dapat ditimbulkan, ternyata banyak hal yang bisa dimanfaatkan dari gas rumah kaca tersebut

Asal - Usul Istilah Efek Rumah Kaca

Efek rumah kaca….???? Selama ini aku memang sudah tahu monster mengerikan macam apa itu, si perangkai global warming yang siap menerkam kehidupan manusia siapa saja,kapan saja dan dimana saja…. Tapi ternyata ada hal menarik yang baru-baru ini aku baca di suatu artikel pada blog “The Environmentalist”.

Kenapa si harus disebut efek rumah kaca….? Istilah Efek Rumah Kaca (green house effect) berasal dari pengalaman para petani di daerah iklim sedang yang menanam sayur-mayur dan bunga-bungaan di dalam rumah kaca. Yang terjadi dengan rumah kaca ini, cahaya matahari menembus kaca dan dipantulkan kembali oleh benda-benda dalam ruangan rumah kaca sebagai gelombang panas yang berupa sinar infra merah. Namun gelombang panas itu terperangkap di dalam ruangan kaca serta tidak bercampur dengan udara dingin di luarnya. Akibatnya, suhu di dalam rumah kaca lebih tinggi daripada di luarnya. Inilah gambaran sederhana terjadinya efek rumah kaca.
Pengalaman petani di atas kemudian dikaitkan dengan apa yang terjadi pada bumi dan atmosfir. Lapisan atmosfir terdiri dari, berturut-turut: troposfir, stratosfir, mesosfir dan termosfer: Lapisan terbawah (troposfir) adalah yang yang terpenting dalam kasus efek rumah kaca. Sekitar 35% dari radiasi matahari tidak sampai ke permukaan bumi. Hampir seluruh radiasi yang bergelombang pendek (sinar alpha, beta dan ultraviolet) diserap oleh tiga lapisan teratas. Yang lainnya dihamburkan dan dipantulkan kembali ke ruang angkasa oleh molekul gas, awan dan partikel. Sisanya yang 65% masuk ke dalam troposfir.
Di dalam troposfir ini, 14 % diserap oleh uap air, debu, dan gas-gas tertentu sehingga hanya sekitar 51% yang sampai ke permukaan bumi. Dari 51% ini, 37% merupakan radiasi langsung dan 14% radiasi difus yang telah mengalami penghamburan dalam lapisan troposfir oleh molekul gas dan partikel debu. Radiasi yang diterima bumi, sebagian diserap sebagian dipantulkan. Radiasi yang diserap dipancarkan kembali dalam bentuk sinar inframerah.
Sinar inframerah yang dipantulkan bumi kemudian diserap oleh molekul gas yang antara lain berupa uap air atau H20, CO2, metan (CH4), dan ozon (O3). Sinar panas inframerah ini terperangkap dalam lapisan troposfir dan oleh karenanya suhu udara di troposfir dan permukaan bumi menjadi naik. Terjadilah Efek Rumah Kaca. Gas yang menyerap sinar inframerah disebut Gas Rumah Kaca.
Seandainya tidak ada efek rumah kaca, suhu rata-rata bumi akan sekitar minus 18 oC — terlalu dingin untuk kehidupan manusia. Dengan adanya efek rumah kaca, suhu rata-rata bumi 330 C lebih tinggi, yaitu 150C. Jadi, efek rumah kaca membuat suhu bumi sesuai untuk kehidupan manusia.
Namun, ketika pancaran kembali sinar inframerah terperangkap oleh CO2 dan gas lainnya, maka sinar inframerah akan kembali memantul ke bumi dan suhu bumi menjadi naik. Dibandingkan tahun 50-an misalnya, kini suhu bumi telah naik sekitar 0,2 oC lebih.
Artikel diatas dapat memberikan gambaran yang jelas bagi kita tentang efek rumah kaca, bagaimana terjadinya, apa penyebabnya dan apa bahayanya. Tanpa efek rumah kaca ini, mungkin bumi ini akan beku, seluruhnya hanya terdiri dari es dan tidak layak dihuni. Efek rumah kaca tak akan menjadi bahaya yang megancam tanpa ulah manusia itu sendiri. Sebenarnya manusialah yang mengancam bumi, efek rumah kaca hanya dijadikan kambing hitam.

Jika manusia memusuhi bumi, apakah bumi harus setia pada manusia….
Jangan sampai bumi BOSAN menampung kehidupan……..
Manusia dan bumi saling membutuhkan bukan saling melukai……….
Waktu terus mengejar sampai manusia sadar betapa berartinya BUMI bagi hidupnya……….

Ternyata Tanah Dapat Melipat Gandakan Gas-Gas Rumah Kaca

Meningkatnya jumlah karbon dioksida di atmosfer membuat tanah melepas sejumlah gas yang jauh lebih berbahaya bagi lingkungan. Alam ternyata tidak seefisien perkiraan semula dalam memperlambat laju pemanasan global.

 Mikroorganisme tanah menyerap karbon dioksida hanya untuk mengubahnya menjadi gas rumah kaca lain yang jauh lebih kuat. Perubahan tersebut menegasikan hampir 17 persen kemampuan bumi menyerap emisi yang memerangkap panas.

Dalam studi yang dipublikasikan dalam jurnal Nature pekan lalu, tim ilmuwan mengukur gas metana (CH4) dan dinitro oksida (N2O) yang dilepas tanah di hutan, padang rumput, gambut, dan lahan pertanian, termasuk sawah.

Meski jumlahnya tak sebesar karbon dioksida, kedua gas rumah kaca ini memiliki kekuatan memerangkap CO2 sekitar 30 dan 400 kali lipat.

“Itu mengingatkan kami bahwa ada banyak dimensi tanah sebagai penyimpan karbon,” kata Bruce Hungate, peneliti studi dan dosen ekologi ekosistem di Northern Arizona University.

Untuk memperoleh energi, mikroba tanah menyerap karbon dioksida dan mengeluarkan metana dan dinitro oksida. Ketika konsentrasi karbon atmosfer diperkirakan naik dalam beberapa tahun mendatang, gas CH4 dan N2O yang dihasilkan akan sangat mempercepat laju pemanasan.

Secara keseluruhan, metana dan dinitro oksida yang dilepaskan oleh mikroba methanogen dan denitrifikasi tersebut membatalkan 16,6 persen karbon yang tersimpan dalam tanah di seluruh dunia.

Studi itu memperkirakan tingginya konsentrasi CO2 lingkungan pada 50-100 tahun mendatang akan menstimulasi kenaikan emisi N2O hingga 18,8 persen dan emisi metana tanah gambut sebesar 13,2 persen dibandingkan dengan kadar CO2 atmosfer pada saat ini. Emisi metana dari sawah juga naik sampai 43,4 persen.

Pro - Kontra Seputar Peningkatan Gas Rumah Kaca

Meskipun (menurut perasaan) temperatur di sekitar kita terlihat berfluktuasi secara tetap, namun pada kenyataannya (berdasarkan data yang ada) ternyata selama 50 tahun terakhir ini temperatur rata-rata di Bumi telah naik secara cepat. Penyebab utama naiknya temperatur Bumi adalah akibat efek rumah kaca yang menurut sebagian ahli disebabkan oleh meningkatnya kandungan gas Karbon Dioksida (CO2) dan partikel polutan lainnya di atmosfer Bumi. Diibaratkan selimut, gas-gas tersebut akan menghalangi energi panas yang dipantulkan kembali oleh Bumi ke ruang angkasa.

Untuk membayangkan efek rumah kaca ini sangat mudah. Mungkin ada di antara anda yang sudah pernah merasakan bagaimana ketika pertama kali memasuki sebuah mobil yang diparkir di tempat yang panas. Temperatur di dalam mobil akan terasa lebih panas daripada temperatur di luar, karena energi panas yang masuk ke dalam mobil terperangkap di dalamnya dan tidak bisa keluar.

Pada kondisi yang normal, efek rumah kaca adalah "baik" karena dengan demikian Bumi akan menjadi hangat dan dapat menjadi tempat hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Tanpa efek rumah kaca, bagian Bumi yang tidak terkena sinar matahari akan menjadi sangat dingin seperti di dalam freezer lemari es anda (-18C). Sejarah terbentuknya Bumi hingga bisa ditempati oleh manusia seperti saat ini sebenarnya tak lepas dari 'jasa' efek rumah kaca. Jadi sebenarnya yang namanya efek rumah kaca itu sudah ada sejak jaman dahulu kala seiring dengan proses terbentuknya Bumi.

Kondisi akan menjadi tidak baik jika kandungan gas-gas rumah kaca di atmosfer Bumi semakin hari semakin meningkat. Kenapa demikian? karena dengan semakin meningkatnya gas-gas rumah kaca, semakin memanas pula Bumi, akibatnya akan terjadi pencairan es di daerah kutub yang dapat menenggelamkan sebagian daratan tempat manusia dan makhluk-makhluk hidup darat lainnya tinggal.

Gas rumah kaca yang saat ini banyak disalahkan oleh sebagian ahli pengusung isu pemanasan global adalah gas CO2 di atmosfer. Sementara sebagian ahli lain berpendapat bahwa sebenarnya jumlah CO2 di atmosfer tidak cukup signifikan untuk dijadikan "kambing hitam" pemanasan global karena jumlahnya yang hanya 0.04%. Selain itu, para ahli ini juga menyatakan bahwa seluruh gas yang ada di atmosfer adalah gas rumah kaca, tanpa terkecuali dimana komposisi terbesar adalah nitrogen (78%), oksigen (21%) dan uap air (hingga 3%). Nah lo, pusing kan jadinya? Santai, tidak perlu pusing...

Lalu, apakah yang menyebabkan meningkatnya kandungan karbon dioksida dan partikel polutan di atmosfer? Ternyata kontribusi terbesar adalah akibat pemakaian bahan bakar fosil seperti batubara, gas dan minyak Bumi. Ketiga jenis bahan bakar tersebut adalah yang paling murah saat ini jika dibandingkan dengan sumber energi lainnya. Pemakaiannya pun dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang sangat berarti setelah tercetusnya revolusi industri. Apalagi kalau sekarang kita sering merasakan kemacetan di mana-mana akibat jumlah kendaraan bermotor dan "bermobil" yang meningkat. Pabrik/industri yang tumbuh di mana-mana untuk memenuhi pola konsumsi masyarakat modern yang semakin hari semakin meningkat. Namun hal ini juga disangkal oleh sebagian ahli. Menurut mereka, kontribusi dari penggunaan bahan bakar fosil di seluruh dunia dalam menambah jumlah CO2 hanyalah 0,013% (sedikit sekali bukan?). Wah jadi makin seru deh sampai di sini...

Pro dan kontra terus terjadi, namun demikian seiring dengan adanya Protokol Kyoto (1997), Beberapa negara maju sepakat untuk mengurangi jumlah emisi gas CO2 dengan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil sebanyak 30% dalam 10 tahun ke depan. Untuk itu saat ini beberapa negara maju/industri telah mencoba mengembangkan metode dan teknologi dalam rangka memanfaatkan sumber-sumber energi alternatif yang (lebih) ramah lingkungan, terutama sumber energi yang terbarukan.

Apa itu energi terbarukan? Energi terbarukan adalah lawan kata dari energi tak terbarukan (anak kecil juga tahu kalau gitu sih). Jadi begini, energi terbarukan adalah energi yang dapat dipakai secara terus- menerus tanpa perlu kuatir sumber dari energi tersebut akan habis. Lawan katanya adalah energi tak terbarukan yaitu energi yang jika dipakai secara terus-menerus akan habis pada suatu waktu tertentu. Jadi jelas kan sekarang? Apa saja contoh dari energi terbarukan? banyak sekali, seperti energi angin, matahari, panas bumi, air, dan biomassa (berasal dari tanaman perkebunan, pertanian, hutan, sampah, dan peternakan).

Sebenarnya, secara alamiah di alam, akibat adanya interaksi antara laut dan udara (seperti TNI aja ya?), jumlah energi panas yang ada di atmosfer dan di permukaan laut akan dapat dikontrol oleh mekanisme global conveyor belt. Apa itu global conveyor belt? Global conveyor belt adalah sirkulasi global yang berperan dalam mentransfer (memindahkan) energi panas dari suatu tempat ke tempat lainnya melalui aliran udara dan air laut. Pola iklim di bumi diatur oleh mekanisme ini.

Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa 'ketakutan' dan analisis sebagian ahli akan pemanasan global selama ini masih baru didasarkan melulu pada hasil model numerik yang belum secara 'sungguh-sungguh' dibandingkan dengan data pengamatan. Selain itu, kebanyakan model yang digunakan saat ini masih jauh dari sempurna dalam merumuskan mekanisme rumit sesungguhnya yang terjadi di Bumi.

Memang pemanasan global sedang dan terus akan terjadi, demikian juga dengan efek rumah kaca. Mencairnya es yang terbentuk sejak jaman es pun terus berlangsung karena memang temperatur bumi mengalami perubahan dari semenjak es itu dahulu terbentuk, permukaan laut pun terus mengalami kenaikan (yang dikenal dengan istilah sea level rise). Siklus seperti itu terus terjadi dan takkan terhindarkan. Sebagian pakar menyatakan bahwa fenomena itu masih merupakan suatu kewajaran yang memang harus terjadi dan tak perlu ditakutkan, sementara itu pakar yang lain -seperti yang telah saya tuliskan di atas- menyatakan bahwa dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini "kecepatan" dari fenomena ini meningkat dan berada pada level yang "sangat mengkhawatirkan", artinya jika "masa mengkhawatirkan" ini tidak segera diredam, maka ke depannya peradaban manusia akan mengalami masalah yang serius.

Jadi memang tak ada salahnya untuk membuat suatu aksi yang positif. Setidaknya, dengan mengurangi emisi CO2 dan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil serta mencoba alternatif energi ramah lingkungan dan terbarukan, akan menjadikan Bumi sedikit bersih dari polutan yang telah membuat manusia sesak nafas dan teracuni paru-parunya. Apalagi untuk Indonesia yang saat ini berada pada tingkat polusi yang katanya sudah agak membahayakan bagi kesehatan penduduknya.

Pemanasan Global dan Membekunya Eropa
Ada sebuah artikel menarik dari Science Daily yang pernah saya baca yang membahas tentang dampak dari pemanasan global di Eropa. Artikel ini ditulis berdasarkan pada hasil simulasi numerik jangka panjang tentang apa yang akan terjadi jika laju penambahan gas rumah kaca terus bertambah di atmosfer Bumi. Dalam jangka panjang, ternyata Eropa akan semakin dingin jika pemanasan global terus berlangsung. Pertanyaannya adalah: â€Å“Apa yang menyebabkan Eropa akan semakin dingin?”

Untuk membahas masalah ini, sebelumnya anda perlu tahu tentang apa yang disebut dengan Great Ocean Conveyor Belt, yaitu sebuah sirkulasi laut global yang di dalam sirkulasi tersebut terjadi pemindahan energi panas yang diserap oleh laut dari daerah tropis -yang mengalami radiasi matahari yang relatif tetap sepanjang tahun- ke daerah lintang menengah dan tinggi yang menerima energi radiasi matahari yang berbeda pada saat musim dingin dan panas (akibat sumbu rotasi bumi yang membentuk sudut 23.5 derajat terhadap garis edarnya).

Akibat suhu yang dingin di sekitar kutub utara (Greenland), maka akan terjadi pembekuan air laut. Pembekuan air laut ini akan melepaskan garam yang terkandung di dalam air laut tersebut (oleh sebab itu, kenapa es di kutub tidak berasa asin karena garamnya tidak ikut membeku). Pelepasan garam ini akan menjadikan salinitas air laut menjadi lebih tinggi sehingga densitas air laut di sana pun menjadi lebih tinggi pula, akibatnya massa air laut akan turun (dikenal sebaga fenome sinking atau downwelling atau bisa juga disebut sebagai arus laut yang bergerak ke kedalaman). Kekosongan akibat turunnya massa air laut yang memiliki densitas yang besar tersebut akan diisi oleh massa air laut di sekitarnya, yaitu dari daerah lintang yang lebih rendah atau daerah tropis. Air laut di tropis yang hangat inilah yang menjadikan iklim di lintang menengah dan tinggi tetap cukup hangat.

Pemanasan global akan menyebabkan terjadinya pencairan es di kutub. Hal ini menyebabkan bertambahnya jumlah air, sehingga terjadi pengenceran air laut. Akibatnya, densitas air laut menjadi berkurang sehingga proses sinking atau downwelling pun akan melemah. Melemahnya proses ini akan mengurangi jumlah air hangat yang masuk dari daerah tropis. Akibat selanjutnya, iklim di lintang menengah dan tinggi tidak lagi sehangat sebelumnya, dan ini yang akan memicu terjadinya Eropa yang membeku dalam jangka panjang.
Nah, kalau Eropa akan membeku dalam jangka panjang akibat pemanasan global, lalu apa yang akan terjadi dengan daerah tropis? Mungkin lain kali saya akan bahas hal ini.

Dampak Kerusakan Ozon Akibat Meningkatnya Gas Rumah K aca

Apabila ozon rusak , sinar ultra violet yang masuk ke bumi tidak disaring akan turun ke bumi dan dapat merusak kulit manusia. Penipisan ini juga menyebabkan peningkatan infeksi akibat menurunnya kekebalan tubuh, penyakit katarakpda mata dan masalah kerusakan lingkungan, mulai dari putusnya rantai makanan pada ekosistim akuatik di laut sampai menurunnya produktivitas tanaman.
 
Selain mengakibatkan penyakit tersebut di atas juga mengakibatkan suhu bumi menjadi naik, dan terjadi pemanasan global.
 
Perubahan iklim akan terjadi secara mendadak yang sering tidak dapat dimonitor sebelumnya, akibat yang mendadak ini justru mengakibatkan tingkat fisologis kita tidak dapat melakukan adaptasi, vegetasi tundra akan hilang, hutan akan berkurang serta padang rumput dan gurun akan bertambah luas. Laju penguapan air akan terus me ningkat oleh karena itul engas tanah akan turun. Evaporasi terus meningkat sehingga air tanah makin lama makin kering. Menurut teori setiap kenaikan 3 C pada permukaan bumi mengakibatkan tumbuh-tumbuhan dan hewan harus beremigrasi ke daerah lain, yaitu bergeser 250 km ke arah kutub yang lebih dingin atau naik 500 m ke arah puncak gunung untuk mendapatkansuhu yang sama dengan sebelumnya. Tidak setiap hewan atau tumbuhan mempunyai kemampuan emigrasi seperti ini, berarti ada sejumlah species yang musnah.

Gas Rumah Kaca Penyebab Pemanasan Global

Gas Rumah Kaca Juga Menguntungkan, Tapi...

Siklus pergeseran orbit Bumi akan membuat planet ini mengalami zaman es kembali ribuan tahun dari sekarang. Namun, kejadian ini mungkin dapat dicegah akibat adanya gas rumah kaca yang kini menjadi biang pemanasan global.
Bumi telah mengalami periode panjang musim dingin ekstrem pada miliaran tahun silam dalam sejarahnya. Musim dingin yang sangat menggigit diselang-selingi dengan periode interglasial yang relatif hangat, merupakan periode yang telah kita alami sejak berakhirnya Zaman Es, sekitar 11.000 tahun silam.

Perubahan iklim ini ada penyebab alamiahnya, yang diyakini terutama berakar dari perubahan orbit dan sumbu Bumi. Sekalipun sebentar, memiliki dampak yang besar sekali atas bagaimana panas sinar Matahari jatuh pada permukaan planet Bumi.

Para peneliti membangun sebuah model komputer berkuatan tinggi untuk melihat dengan seksama pada fase-fase dingin dan hangat ini. Di samping perubahan keplanetan, mereka juga memperhatikan level karbon dioksida (CO2), yang ditemukan dalam gelembung kecil pada inti es, yang memberikan indikator suhu yang berlangsung ratusan ribu tahun.
"Mereka menemukan perubahan dramatis dalam iklim, termasuk perubahan ketika Bumi berubah dari satu keadaan ke kondisi lainnya dalam waktu yang relatif singkat," kata salah satu geosaintis Thomas Crowley dari Universitas Edinburgh, Skotlandia. Pergeseran-pergeseran ini, yang disebut "pencabangan dua", tampaknya terjadi dalam rangkaian yang tiba-tiba, yang bertentangan persepsi bahwa planet Bumi mengalami masa dingin atau panas dengan perlahan.
Menurut model itu, yang disiarkan dalam jurnal Nature oleh Crowley dan fisikawan William Hyde dari Universitas Toronto, Kanada, "pencabangan" biasanya akan terjadi antara 10.000 hingga 100.000 tahun dari sekarang. Iklim yang dingin akan memicu periode beku yang panjang dan stabil pada kawasan di garis lintang bagian tengah, melimpahi Eropa, Asia dan Amerika Utara hingga ke garis lintang 45-50 derajat dengan lapisan es tebal.

Imbangi pendinginan
"Meski demikian, kini ada begitu banyak CO2 di udara, sebagai hasil pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan, dan ini memperbesar dampak gas rumah kaca yang memerangkap panas yang akan mengimbangi pengaruh pendinginan daeri pergeseran orbit," tutur Crowley.
"Bahkan level yang ada saat ini lebih dari cukup untuk mencapai kondisi yang menentukan yang tampak pada model itu," katanya. "Jika mengurangi sedikit CO2, itupun mungkin masih memadai."
Pada September lalu, sebuah konsorsium riset ilmiah bernama Proyek Karbon Global (GCP) menyatakan konsentrasi CO2 di atmosfir mencapai 383 ppm pada 2007, atau 37 persen di tas level pra-industri. Konsentrasi saat ini "tertinggi dalam 650.000 tahun terakhir dan kemungkinan dalam 20 juta tahun belakangan ini," kata laporan itu.
Meskipun begitu, para pakar iklim memperingatkan bahwa berita ini bukan sebagai alasan mendukung pemanasan global. Sebab dampak jangka pendek yang sudah terbayang di depan mata adalah kerusakan akibat perubahan iklim seperti naiknya air laut, munculnya penyakit baru, dan badai yang semakain sering.
Crowley memperingatkan mereka yang akan memanfaatkan pengkajian baru itu dengan menyatakan karbon dioksida kini suatu hal yang baik karena mencegah kita menuju periode dingin membeku. "Kami tak ingin memberi kesan kepada masyarakat," katanya. "Anda tidak bisa mengunakan pendapat ini sebagai pembenaran terhadap pemanasan global".
Tahun lalu, Panel Antar-pemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC) PBB yang meraih Nobel menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca sudah menyebabkan perubahan yang tampak terhadap sistem iklim, terutama pada es dan salju. Bila dibiarkan tanpa pengendalian, perubahan iklim akan memicu kekeringan yang meluas dan banjir pada akhir abad ini, sehingga menyebabkan kelaparan, kehilangan tempat berteduh dan tekanan lainnya atas jutaan orang.

Perubahan iklim : Pemanasan Global dan Efek Rumah Kaca

Beberapa data terkait kondisi iklim dan cuaca pada saat ini sering menyebutkan bahwa Bumi telah menjadi lebih hangat sekitar 1˚F (0.5 ˚C) dari 100 tahun yang lalu. Tetapi mengapa dan bagaimana? Sebenarnya para pakar ilmu pengetahuan juga tidak tahu pasti. Bumi bisa saja menjadi hangat secara alami, tetapi banyak ahli iklim dunia yang percaya bahwa tindakan manusia telah membantu membuat Bumi menjadi lebih hangat.
Iklim menggambarkan total cuaca yang terjadi selama satu periode tertentu dalam setahun di suatu tempat tertentu, termasuk didalamnya adalah kondisi cuaca rata-rata, musim (dingin, panas, semi, gugur, hujan, dan kemarau), dan gejala alam khusus (seperti tornado dan banjir). Iklim memberitahu kita bagaimana tinggal di daerah tertentu. Bogor kota hujan, Jakarta panas, dan Bandung sejuk dan lainnya.

Lalu apa yang membedakan iklim dan cuaca dan apa yang mempengaruhi iklim di bumi, secara singkat iklim bisa dikatakan sebagai rata-rata dari cuaca. Bedanya, memperkirakan cuaca untuk jangka waktu lebih dari beberapa hari relatif sangat sulit karena sifat ketidakpastiannya yang tinggi. Sebaliknya, memperkirakan perubahan iklim yang disebabkan oleh perubahan komposisi atmosfer atau faktor-faktor lainnya, secara umum, relatif bisa dilakukan, sedangkan yang mempengaruhi iklim di bumi sangat dipengaruhi oleh kesetimbangan panas di bumi. Aliran panas dalam sistem iklim di bumi bekerja karena adanya radiasi. Sumber utama radiasi di bumi adalah matahari.

Gambar 1. Sistem Kesetimbangan Panas di Bumi

Dari gambar di atas dapat kita lihat bahwa dari seluruh radiasi matahari yang menuju ke permukaan bumi, sepertiganya dipantulkan kembali ke ruang angkasa oleh atmosfer dan oleh permukaan bumi. Pemantulan oleh atmosfer terjadi karena adanya awan dan partikel yang disebut aerosol. Keberadaan salju, es dan gurun memainkan peranan penting dalam memantulkan kembali radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi. Dua pertiga radiasi yang tidak dipantulkan, besarnya sekitar 240 Watt/m2, diserap oleh permukaan bumi dan atmosfer. Untuk menjaga kesetimbangan panas, bumi memancarkan kembali panas yang diserap tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek. Sebagian radiasi gelombang pendek yang dipancarkan oleh bumi diserap oleh gas-gas tertentu di dalam atmosfer yang disebut gas rumah kaca. Selanjutnya gas rumah kaca meradiasikan kembali panas tersebut ke bumi. Mekanisme ini disebut efek rumah kaca. Efek rumah kaca inilah yang menyebabkan suhu bumi relatif hangat dengan rata-rata 14oC, tanpa efek rumah kaca suhu bumi hanya sekitar -19oC. Sebagian kecil panas yang ada di bumi, yang disebut panas laten, digunakan untuk menguapkan air. Panas laten ini dilepaskan kembali ketika uap air terkondensasi di awan.

Beberapa kelompok gas rumah kaca penting adalah uap air (H2O), kemudian disusul oleh karbondioksida (CO2). Gas rumah kaca yang lain adalah methana (CH4), dinitro-oksida (N2O), ozone (O3) dan gas-gas lain dalam jumlah yang lebih kecil.
Perubahan iklim ialah perubahan suhu, tekanan udara, angin, curah hujan, dan kelembaban sebagai akibat dari pemanasan global. Pemanasan global ialah meningkatnya temperatur rata-rata bumi sebagai akibat dari akumulasi panas di atmosfer yang disebabkan oleh Efek Rumah Kaca. Efek Rumah Kaca ialah fenomena menghangatnya bumi karena radiasi sinar matahari dari permukaan bumi dipantulkan kembali ke angkasa yang terperangkap oleh "selimut" dari gas-gas CO2 (karbon dioksida), CH4 (metana), N2O (nitrogen dioksida), PFCS (perfluorokarbon), HFCS (hidrofluorokarbon), dan SF6 (sulfurheksafluorida).

Hubungan Perubahan Iklim, Efek Rumah Kaca, dan Pemanasan Global adalah Efek Rumah Kaca menyebabkan terjadinya Pemanasan Global yang dapat menyebabkan Perubahan Iklim. Hubungan di antara ketiganya adalah hubungan sebab-akibat

Mekanisme Terjadinya Efek Rumah Kaca

Pengaruh Gas-gas Rumah Kaca terhadap terjadinya efek rumah kaca.  tergantung pada besarnya kadar gas rumah kaca di atmosfer, waktu tinggal di atmosfer dan kemampuan penyerapan energi. Peningkatan kadar gas rumah kaca di atmosfer  akan meningkatkan efek rumah kaca yang dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global. Waktu tinggal gas rumah kaca di atmosfer juga mempengaruhi efektivitasnya dalam menaikkan suhu bumi. Makin lama waktu tinggal GRK di atmosfer, makin tinggi  pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. Kemampuan Gas-gas Rumah Kaca dalam mengabsorbsi  panas (sinar inframerah) seiring dengan lamanya waktu tinggal di atmosfer disebut dengan istilah GWP ( Greenhouse Warming Potential ). GWP adalah suatu nilai relatif dimana karbon dioksida diberi nilai 1 sebagai standar.

Tabel. 2.2. Lama waktu tinggal di atmosfer dan  nilai Green House Warwing  Potensial ( GWP ) gas rumag kaca
No Gas rumah kaca Lama waktu tinggal ( tahun ) GWP ( relative )
1 2
3
4
5
6
CO2 CH4
CFC R-12
O3
CFC R-11
N2O
50 – 200 10
130
0,1
65
150
1 21
15.800
2.000
12.400
206

Dari tabel diatas terlihat zat-zat chlorofluorocarbon, mempunyai nilai GWP lebih tinggi dari 10.000. Itu berarti bahwa satu molekul zat chlorofluorocarbon mempunyai efek rumah kaca lebih tinggi dari 10.000 molekul karbon dioksida. Dengan kata lain, makin tinggi nilai GWP suatu zat tertentu, makin tinggi pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu bumi.
Secara total, 29 % energi matahari akan dipantulkan oleh atmosfer, 20 % di serap oleh gas-gas atmosfer, dan hanya 51 % yang sampai dipermukaan bumi ( Lakitan, 1994 ). Dari sinar matahari yang sampai ke bumi  yang berupa sinar gelombang pendek, akan dipantulkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah dengan gelombang panjang. Sinar tersebut akan diserap oleh GRK yang ada di trofosfer sehingga tidak bisa terlepas bebas ke lapisan atas, sehingga akan meningkatkan suhu bumi akibat terperangkapnya sinar pantulan dari bumi. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya efek rumah kaca.

Pengelolaan Sumber Daya Hutan Untuk Mengurangi Emisi CO2 Penyebab Efek Rumah Kaca

Pemanasan global ( global warming ) merupakan salah satu isu inernasional yang dewasa ini banyak mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Pemanasan global diartikan sebagai meningkatnya suhu bumi secara keseluruhan. Pemanasan global merupakan salah satu gejala dari pengelolaan sumber daya hutan yang tidak berkelanjutan. Kekwatiran dunia sangat  beralasan karena pengaruh global dapat berdampak kepada kehidupan dan kondisi bentang lahan dari semua negara baik negara penghasil ( emisi ) Gas Rumah  Kaca ( GRK ) maupun bukan. Peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca dikwatirkan akan meningkatkan suhu lapisan bawah atmosfer yaitu lapisan troposfer karena radiasi gelombang panjang yang dipancarkan permukaan bumi ( terrestrial radiation ) sebagian akan terperangkap pada lapisan troposfer, karena tidak dapat menembus ke lapisan atmosfer yang lebih tinggi ( Lakitan, 1994 ). Meningkatnya pemanasan global akibat GRK akan menimbulan masalah terhadap pola adaptasi makluk hidup pada suatu ekosistem dan terputusnya rantai makanan antar organisme yang berakibat pada menurunnya ketersediaan stok pangan dunia.  Negara penghasil GRK adalah negara-negara industri yang menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energinya. Indonesia juga merupakan salah satu Negara emitor GRK yang terutama berasal dari pembukaan hutan dan pengeringan gambut. Sehingga Indonesia menjadi salah satu bagian dari solusi terhadap pengurangan pemanasan global.

Efek rumah kaca ( Green House Effect ) adalah suatu istilah yang digunakan untuk meggambarkan betapa panasnya kondisi bumi dari akibat terperangkapnya gelombang panjang sinar matahari dilapisan trofosfer bumi ( Fahri, 2009 ). Green House Effect di adopsi dari kondisi rumah kaca yang biasa digunakan untuk budidaya pertanian. Pada siang hari, pada cuaca yang cerah meskipun tanpa adanya alat pemanas suhu ruangan di dalam rumah kaca akan  lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu diluar rumah kaca. Hal tersebut  terjadi karena sinar matahari yang menembus kaca dipantulkan kembali oleh tanaman di dalam rumah kaca yang berupa panas. Sinar yang dipantulkan ini tidak dapat menembus kembali keluar kaca sehingga suhu di dalam rumah kaca menjadi naik dan panas yang dihasilan akan terperangkap di dalam rumah kaca. Efek rumah kaca juga dapat diilustrasikan sebagai sebuah mobil yang diletakkan di bawah terik matahari dengan kodisi jendela mobil tertutup. Bagi masyarakat awam efek rumah kaca  diartikan sebagai adanya rumah-rumah yang banyak menggunakan  kaca.

Iklim global telah berubah pada tingkatan yang cukup besar. Perubahan tersebut terjadi karena adanya peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer. Salah satunya adalah gas CO2. Peningkatan konsentrasi gas CO2    di atmosfer terjadi akibat proses pembakaran bahan bakar fosil. Sekitar 20% dari total peningkatan GRK di atmosfer disebabkan oleh emisi CO2 akibat pembakaran.
Dalam Kyoto Protokol telah disepakati untuk memberikan solusi  terhadap meningkatnya  GRK. Walaupun hanya beberapa negara sebagai emitor gas CO2 terutama  negara industri, tetapi dampaknya akan terasa pada keseluruhan otmosfer bumi. Karena angin akan selalu bergerak secara aktif sehingga akan mendistribusikan GRK secara merata. penyebaran emisi gas-gas terutama CO2 tersebar secara sporadic di berbagai tempat, akan tetapi implementasi di lapangan ternyata cukup sulit dan tidak adil. Karena adanya perbedaan yang cukup significant antar negara dalam emisi GRK. Pada tingkat global pengaturan sumber daya alam  yang berkelanjutan, mempertimbangkan dua pemicu emisi GRK yaitu , penggunaan bahan bakar minyak  dan berhubungan dengan adanya alih guna lahan dan konversi hutan.

Salah satu solusi untuk mengurangi emisi GRK adalah  dengan cara pembangunan dan pengelolaan sumber daya  hutan yang berkelanjutan. Dalam konteks sumber daya, paradigma pengelolaan hutan harus bergeser dari sistem yang beorientasi pada ekonomi semata menuju sistem yang berorientasi ekosistem. Sehingga kelestarian fungsi ekologi hutan akan tetap terjaga  sampai generasi yang akan datang. Sudah lama hutan alam tropis menjadi perhatian masyarakat dunia sehubungan dengan penurunan kualitas maupun kuantitasnya. Kondisi yang demikian tidak saja memberikan dampak negatif terhadap masyarakat yang berada pada wilayah negara yang bersangkutan, tetapi juga pada masyarakat internasional berkenaan dengan pengaruhnya terhadap perubahan cuaca  ataupun iklim global, menurunnya keaneka-ragaman hayati ataupun pengaruhnya terhadap aspek lingkungan yang lain. Sampai saat ini laju kerusakan tersebut tidak mencapai titik setaknasi atau paling tidak melambat, melainkan justru semakin cepat. Ada kecenderungan bahwa keadaan yang demikian adalah karena kesalahan dalam pengaturan pengelolaan hutannya.
Tantangan ini cukup berat bagi pengelola hutan untuk mewujudkan suatu usaha pembangunan yang berkelanjutan serta pertimbangan-pertimbangan terhadap kelestarian lingkungan yang harus dapat merespon tekanan dari masyarakat, baik itu masyarakat lokal maupun internasional.

Semakin banyak bentangan hijau dapat diartikan sebagai semakin banyak juga luasan permukaan daun. Kaitannya dengan pengurangan emisi gas CO2 adalah daun melakukan proses fotosintesa untuk pembentukan dan perbanyakan biomassa di dalam pohon. Fotosintesa adalah proses perubahan molekul anorganik oleh tumbuhan menjadi molekul organic.
Akan tetapi tumbuhan hanya melakukan fotosintesa dengan bantuan cahaya matahari. Sebaliknya pada keadaan gelap tumbuhan mengeluarkan CO2  dan mengambil O2 untuk respirasi.Daun-daun akan menangkap energi matahari dalam klorofil. Energi ini lalu digunakan untuk membentuk molekul glukosa dari air dan karbon dioksida.oksigen dikeluarkan sebagai produk sisa, sedangkan glukosa digunakan untuk memperbanyak biomassa.
Salah satu produk dari fotosintesa adalah oksigen yang merupakan kebutuhan vital bagi  makluk hidup dalam proses respirasi. Akan tetapi sering kali kita tidak sadar akan pentingnya kawasan hijau. Perusakan hutan dan bentangan hijau sering dilakukan untuk alasan kepentingan ekonomi. Peniadaan atau pengurangan vegetasi secara drastis dapat mengubah iklim secara lokal dan global. Perubahan iklim lokal akan berkaitan dengan siklus hidrologi dan mengubah wilayah yang lembab menjadi kering. Dampak global dari pengurangan vegetasi adalah berkaitan dengan peran vegetasi dalam memanfaatkan CO2 dari atmosfer. Jika vegetasi berkurang, sedangkan emisi CO2 terus meningkat, maka jelas akan mengakibatkan peningkatan CO2 dalam atmosfer yang tidak terkendali ( Lakitan, 1994 ).

Negara-negara industri maju sebagai penghasil emisi GRK sering kali tidak pernah menghargai kontribusi oksigen yang tanpa bayar dari negara-negara yang mempunyai kawasan hutan yang cukup luas. Sebaliknya mereka malah melakukan komplain terhadap negara-negara yang mengalami kerusakan hutan dalam bentuk pengrusakan, ekploitasi lahan gambut ataupun kebakaran. Baru akhir-akhir ini ada perjanjian antar negara untuk melakukan perdagangan karbon ( Carbon Trading ). Negara-negara industri maju sebagai emitor GRK akan membeli karbon dari negara-negara produsen, termasuk Indonesia.

Rabu, 02 November 2011

Pengaruh Manusia Terhadap Konsentrasi Gas Rumah Kaca

Yang menjadi pertanyaannya sekarang apakah pengaruh manusia terhadap meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca? 
Sedangkan faktor alami yang secara historis memang telah berperan dalam menentukan suhu bumi.

Berdasarkan hasil diagnosa dan pengamatan para ahli, maka konsentrasi CO2 dalam kurun waktu tahun 1850 hingga 2000 menunjukkan peningkatan yang cukup berarti dari 290 ppmv menjadi 360 ppmv. Ini menjukkan bahwa dari kurun waktu 100 tahun yang lalu, peningkatan suhu bumi sebesar 0,50C telah dipengaruhi oleh peningkatan CO2.  Aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir inilah yang membuat planet kita semakin panas. Sejak Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir. Tidak main-main, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi itu tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir! IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan nitro oksida, khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi pertambahan penduduk, pembabatan hutan, industri peternakan, dan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak dan menyumbang pada pemanasan global. Dengan pola konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi seperti sekarang juga menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 100 tahun mendatang konsentrasi CO2 akan meningkat dua kali lipat dibanding zaman industri, yaitu sekitar 580 ppmv. Dalam kondisi demikian prediksi jangka panjang memperkirakan peningkatan suhu bumi antara 1,7 - 4,50C. Peningkatan suhu sebesar ini akan disertai oleh naiknya tinggi muka laut antara 15 cm hingga 95 cm. Hal ini terjadi karena mengembangnya volume air dan mencairnya es dikedua kutub bumi. Sementara itu, di daerah tropis atau lintang rendah akan terpengaruh dalam hal produktifitas tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman dan manusia. Peningkatan suhu pada gilirannya akan mengubah pola dan distribusi curah hujan. Kecenderungannya adalah bahwa daerah kering menjadi makin kering dan basah makin basah. Sehingga kelestarian sumberdaya air akan terganggu.
Aktifitas atau kegiatan manusia yang menjadi sumber meningkatnya gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global adalah sebagai berikut:

1) Peternakan
Kegiatan peternakan, seperti: pemeliharaan ayam, sapi, babi, dan hewan-hewan ternak lainnya. Kegiatan peternakan memberi sumbangan pemanasan global sekitar 18%. Selain itu, kegiatan peternakan dunia juga menyumbang 37% metana (72 kali lebih kuat daripada CO2 selama rentang waktu 20 tahun), dan 65% nitro oksida (296 kali lebih kuat daripada CO2).

2) Pembangkit Energi
Sektor energi merupakan sumber penting gas rumah kaca, khususnya karena energi dihasilkan dari bahan bakar fosil, seperti minyak, gas, dan batu bara, di mana batu bara banyak digunakan untuk menghasilkan listrik. Sumbangan sektor energi terhadap emisi gas rumah kaca mencapai 25,9%.

3) Transportasi
Asap kendaraan bermotor, pembakaran bahan bakar fosil pada kegiatan transportasi seperti: mobil, sepeda motor, truk-truk besar, pesawat terbang, dan semua sarana transportasi lainnya. Sumbangan seluruh sektor transportasi terhadap emisi gas rumah kaca mencapai 13,1%. Sumbangan terbesar terhadap perubahan iklim berasal dari transportasi darat (79,5%), disusul kemudian oleh transportasi udara (13%), transportasi laut (7%), dan terakhir kereta api (0,5%).

4) Industri
Gas buangan industri, penggunaan bahan bakar fosil memberikan sumbangan terhadap emisi gas rumah kaca mencapai 19,4%. Sebagian besar sumbangan kegiatan industri berasal dari penggunaan bahan bakar fosil untuk menghasilkan listrik atau dari produksi C02 secara langsung sebagai bagian dari pemrosesannya, misalnya saja dalam produksi semen. Hampir semua emisi gas rumah kaca dari sektor ini berasal dari industri besi, baja, kimia, pupuk, semen, kaca dan keramik, serta kertas.

5) Alih fungsi hutan
Penebangan hutan yang menyebabkan penyerapan CO2 oleh tumbuhan berkurang , karena CO2 adalah bahan baku dalam proses fotosintesis (illegal logging, pabrik kertas, furniture berbahan dasar kayu, ekspor kayu, dsbnya). Kebakaran hutan, selain memiliki dampak yang sama dengan penebangan hutan, pembakaran hutan juga melepaskan CO2 hasil pembakaran (pembukaan lahan baru, pembukaan lahan pertanian, dsbnya). Alih fungsi lahan hutan akibat penebangan ataupun kebakaran tersebut menjadi penyumbangan emisi gas rumah kaca sebesar 17.4%.

6) Kegiatan pertanian
Kegiatan pertanian memberi sumbangan terhadap emisi gas rumah kaca sebesar 13,5%. Sumber emisi gas rumah kaca pertama-tama berasal dari pengerjaan tanah dan pembukaan hutan. Selanjutnya, berasal dari penggunaan bahan bakar fosil untuk pembuatan pupuk dan zat kimia lain. Penggunaan mesin dalam pembajakan, penyemaian, penyemprotan, dan pemanenan menyumbang banyak gas rumah kaca. Yang terakhir, emisi gas rumah kaca berasal dari pengangkutan hasil panen dari lahan pertanian ke pasar.

7) Hunian dan Bangunan Komersial
Hunian dan bangunan bertanggung jawab sebesar 7,9%. Namun, bila dipandang dari penggunaan energi, maka hunian dan bangunan komersial bisa menjadi sumber emisi gas rumah kaca yang besar. Misalnya saja dalam penggunaan listrik untuk menghangatkan dan mendinginkan ruangan, pencahayaan, penggunaan alat-alat rumah tangga, maka sumbangan sektor hunian dan bangunan bisa mencapai 30%. Konstruksi bangunan juga mempengaruhi tingkat emisi gas rumah kaca. Sebagai contohnya, semen, menyumbang 5% emisi gas rumah kaca.

8) Sampah
Limbah sampah menyumbang 3,6% emisi gas rumah kaca. Sampah yang dimaksud bisa berasal dari sampah yang menumpuk di Tempat Pembuangan Sampah (2%) atau dari air limbah atau jenis limbah lainnya (1,6%). Gas rumah kaca yang berperan terutama adalah metana, yang berasal dari proses pembusukan sampah tersebut.

Sumber Emisi Gas Rumah Kaca

 
dan kebakaran hutan, industri peternakan, pembangkit listrik,dan transportasi merupakan penyumbang
terbesar emisi karbon,yang menyebabkan pemanasan global.
Menurut Forest Destruction, Climate Change and Palm Oil Expansion in Indonesia 2008, Indonesia menduduki urutan ketiga dunia sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca dunia, setelah Cina dan Amerika Serikat Penyebabnya diperkirakan hilangnya 2 juta hektare lahan hutan di Indonesia setiap tahun, baik karena kebakaran maupun penebangan liar, khususnya hutan di lahan gambut di Kalimantan.
Aktivitas penebangan dan kebakaran hutan di Asia Tenggara diperkirakan menyumbang 2 miliar ton karbon dioksida (CO2) ke udara. Nilai ini setara dengan 8 persen emisi global yang berasal dari ba-han bakar fosil. Dan sekitar 90 persen emisi CO2 dari hutan gambut di Asia Tenggara disumbangkan oleh Indonesia. Kementerian Negara Lingkungan Hidup menyatakan, sepanjang 2003-2008, total sumber emisi karbon dioksida di Indonesia setara dengan 638,975 gigaton.
Adapun penelitian yang dilakukan Center for International Forestry Research pada 2001 menyebutkan, kebakaran dan penebangan hutan di Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfer daripada yang dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal tersebut membuat Indonesia menjadi salah satu pencemar lingkungan terburuk ill dunia pada saat itu.
Selain kebakaran dan penebangan hutan, penyumbang emisi karbon di dunia adalah peternakan. Menurut laporan Badan Pangan Dunia PBB pada 2006, industri peternakan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang paling tinggi IK persen. Jumlah ini melebihi gabungan dari seluruh transportasi di seluruh dunia, yang hanya 13 persen.
Sektor peternakan, masih menurut laporan tersebut, menyumbang 9 persen karbon dioksida (CO2) dan 117 person gas mitana. Gas metana mempunyai efek pemanasan 72 kali lebih kuat dari CO2 dalam jangka 20 tahun, dan 23 kali dalam jangka 100 tahun. Peternakan juga menimbulkan 64 persen amonia yang dihasilkan karena campur tangan manusia sehingga mengakibatkan hujan asam. Penyumbang emisi karbon lainnya pembangkit listrik dan kemudian disusul
sektor industri. Emisi karbon adalah salah satu penyebab terjadinya pemanasan global. Seperti diketahui, pemanasan global merupakan kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (gelombang panas) yang dipancarkan bumi oleh gas-gas rumah kaca. Dan elek rumah kaca merupakan istilah untuk panas yang terperangkap di atmosfer bumi dan tak bisa menyebar.
Secara alami, gas-gas rumah kaca itu terdapat di udara atau atmosfer. Penipisan lapisan ozon semakin memperpanas suhu bumi. Sebab, makin tipis lapisan-lapisan teratas atmosfer, makin leluasa radiasi gelombang pendek matahari, termasuk ultraviolet, memasuki bumi.
Pada gilirannya, radiasi gelombang pendek ini juga berubah menjadi gelombang panas, sehingga kian meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca itu. Peristiwa inilah yang menyebabkan terjadinya pemanasan global.
Begitulah. Selain CO2 sebagai salah satu gas rumah kaca, ada sejumlah polutan yang, bila terhirup manusia, berdampak buruk terhadap kesehatan. Polutan tersebut adalah gas nitrogen dioksida (NO2), yang berasal dari sektor transportasi, dan gas sulfur dioksida (SO2), yang berasal dari sektor rumah tangga Dari tahun ke tahun, secara per kapita emisi NO2 dan emisi SO2 cenderung naik.
Yang jelas, baik gas CO2, SO2, maupun NO2 dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernapasan, sesak napas, iritasi kulit, dan iritasi mata. Selain itu, gas-gas tersebut dapat menimbulkan gangguan jarak pandang dan penglihatan, sehingga dapal mengganggu semua bentuk kegiatan di luar

Peran Fitoplankton Dalam Mengurangi Efek Rumah Kaca (dari berbagai sumber)

Potensi fitoplankton untuk menyerap emisi Karbondioksida di Atmosfer dalam upaya mengurangi isu global.Isu lingkungan yang menjadi permasalahan internasional saat ini adalah pemanasan global (global warming). Pemanasan global disebabkan oleh peningkatan gas rumah kaca di atmosfer. Gas rumah kaca tersebut akan menyebabkan terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect). Gas rumah kaca terbesar adalah karbondioksida (CO2). Umumnya peningkatan CO2 berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, pemakaian bensin dan solar pada kendaraan, pembuangan limbah pabrik, dan penggundulan hutan. Dampak dari meningkatnya CO2 di atmosfer antara lain: meningkatnya suhu permukaan bumi, naiknya permukaan air laut, anomali iklim, timbulnya berbagai penyakit pada manusia dan hewan(Astin,2008). Berbagai upaya dilakukan untuk menekan laju peningkatan emisi CO2 di atmosfer.

Upaya terbesar untuk mengatasi peningkatan emisi CO2 di tingkat internasional adalah dengan meratifikasi Protokol Kyoto (persetujuan internasional mengenai pemanasan global). Semua negara di dunia diwajibkan untuk mendukung terwujudnya Protokol Kyoto dengan memanfaatkan seluruh potensi sumber daya yang ada. Salah satu sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi emisi CO2 adalah lautan. Di dalam lautan terdapat berbagai organisme laut yang dapat menyerap CO2. Organisme laut yang dapat menyerap emisi CO2 diantaranya adalah fitoplankton.

Fitoplankton merupakan organisme autotrof yang mempunyai klorofil sehingga dapat melakukan proses fotosintesis. Bacillariophyceae merupakan kelas fitoplankton yang mendominasi di suatu perairan. Indonesia mempunyai lautan yang luasnya mencapai 5,8 juta km2 sehingga keberadaan Bacillariophyceae di perairan Indonesia melimpah dan berpotensi besar untuk menyerap emisi

Selasa, 01 November 2011

Dampak Yang Ditimbulkan Oeh Emisi Rumah Kaca Bagi Kesehatan Manusia

Perubahan iklim merupakan fenomena alam yang menjadi tantangan kita pada abad ini. Dengan perubahan iklim tersebut memaksa kita untuk merubah pola hidup dan berubahnya peradaban manusia yang lebih baik, memperhatikan lingkungan dan hal-hal lain yang tidak bertentangan dengan hukum alam. Namun akibat perubahan dunia dan aktifitas manusia modern, maka konsekuensi dari aktifitas ini adalah fenomena pemanasan global akibat efek rumah kaca. Efek rumah kaca ini disinyalir adalah akibat dari adanya emisi gas dari hasil kegiatan manusia.


Perubahan iklim merupakan fenomena alam yang menjadi tantangan kita pada abad ini. Dengan perubahan iklim tersebut memaksa kita untuk merubah pola hidup dan berubahnya peradaban manusia yang lebih baik, memperhatikan lingkungan dan hal-hal lain yang tidak bertentangan dengan hukum alam. Namun akibat perubahan dunia dan aktifitas manusia modern, maka konsekuensi dari aktifitas ini adalah fenomena pemanasan global akibat efek rumah kaca. Efek rumah kaca ini disinyalir adalah akibat dari adanya emisi gas dari hasil kegiatan manusia.
Sejatinya, emisi gas yang berasal dari hasil bakaran dalam kegiatan manusia merupakan konsekuensi kehidupan sehari-hari di planet bumi ini. Emisi gas yang terjadi, pun bukan semata-mata berasal dari kegiatan manusia, tapi juga dari proses alami. Gas yang diemisikan secara alami ini, merupakan bagian dari proses daur ulang yang selalu terjadi secara dinamik dalam rangka menuju keseimbangan alamiah. Selama jumlah emisi gas hasil bakaran itu masih dalam batas-batas kesanggupan alam mendaur-ulangkan kembali, emisi gas tidak akan mengganggu secara nyata kehidupan di bumi. Namun, apabila peningkatan gas akibat kegiatan manusia telah melampau kepasitas daur ulang alami, tentu saja menyebabkan penumpukan gas, tidak hanya pada lingkungan mikro, tetapi juga telah menyebabkan goyahnya keseimbangan lingkungan makro, di antaranya dalam bentuk pemanasan global yang secara tidak langsung berakibat pada kesehatan masyarakat.
Pemanasan global tak hanya berdampak serius pada lingkungan manusia di bumi namun juga terhadap kesehatan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam pertemuan tahunan di Genewa mengatakan bahwa berbagai penyakit infeksi yang timbul diidentifikasi terkait dengan perubahan lingkungan hidup yang drastis. Kerusakan hutan, perluasan kota, pembukaan lahan untuk pertanian, pertambangan, serta kerusakan ekosistem di kawasan pesisir memicu munculnya patogen lama maupun baru. Berbagai penyakit yang ditimbulkan parasit juga meningkat terutama di wilayah yang sering mengalami kekeringan dan banjir. Dampak lain yang terasa adalah nyamuk-nyamuk semakin berkembang biak. Dua penyakit serius akibat gigitan nyamuk, yaitu malaria dan demam be
Perubahan iklim merupakan fenomena alam yang menjadi tantangan kita pada abad ini. Dengan perubahan iklim tersebut memaksa kita untuk merubah pola hidup dan berubahnya peradaban manusia yang lebih baik, memperhatikan lingkungan dan hal-hal lain yang tidak bertentangan dengan hukum alam. Namun akibat perubahan dunia dan aktifitas manusia modern, maka konsekuensi dari aktifitas ini adalah fenomena pemanasan global akibat efek rumah kaca. Efek rumah kaca ini disinyalir adalah akibat dari adanya emisi gas dari hasil kegiatan manusia.
Sejatinya, emisi gas yang berasal dari hasil bakaran dalam kegiatan manusia merupakan konsekuensi kehidupan sehari-hari di planet bumi ini. Emisi gas yang terjadi, pun bukan semata-mata berasal dari kegiatan manusia, tapi juga dari proses alami. Gas yang diemisikan secara alami ini, merupakan bagian dari proses daur ulang yang selalu terjadi secara dinamik dalam rangka menuju keseimbangan alamiah. Selama jumlah emisi gas hasil bakaran itu masih dalam batas-batas kesanggupan alam mendaur-ulangkan kembali, emisi gas tidak akan mengganggu secara nyata kehidupan di bumi. Namun, apabila peningkatan gas akibat kegiatan manusia telah melampau kepasitas daur ulang alami, tentu saja menyebabkan penumpukan gas, tidak hanya pada lingkungan mikro, tetapi juga telah menyebabkan goyahnya keseimbangan lingkungan makro, di antaranya dalam bentuk pemanasan global yang secara tidak langsung berakibat pada kesehatan masyarakat.
Pemanasan global tak hanya berdampak serius pada lingkungan manusia di bumi namun juga terhadap kesehatan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam pertemuan tahunan di Genewa mengatakan bahwa berbagai penyakit infeksi yang timbul diidentifikasi terkait dengan perubahan lingkungan hidup yang drastis. Kerusakan hutan, perluasan kota, pembukaan lahan untuk pertanian, pertambangan, serta kerusakan ekosistem di kawasan pesisir memicu munculnya patogen lama maupun baru. Berbagai penyakit yang ditimbulkan parasit juga meningkat terutama di wilayah yang sering mengalami kekeringan dan banjir. Dampak lain yang terasa adalah nyamuk-nyamuk semakin berkembang biak. Dua penyakit serius akibat gigitan nyamuk, yaitu malaria dan demam berdarah dengue, sangat sensitif terhadap perubahan iklim..
WHO juga menyebutkan ancaman lain dari meningkatnya suhu rata-rata global, yakni penyakit yang menyerang saluran pernapasan. Suhu udara yang semakin hangat juga membawa penyakit alergi. Kenaikan permukaan air laut akan mengakibatkan banjir dan erosi, terutama di kawasan pesisir, dan mencemari sumber-sumber air bersih sehingga menurunkan kualitas air. Akibatnya adalah wabah kolera dan malaria di negara miskin.. Mencairnya puncak es Himalaya, luasnya daerah gurun pasir dan wilayah pesisir pantai yang tercemar merupakan sarana penularan penyakit, hal ini juga menyebabkan angka kekurangan gizi pada anak-anak. Banyak penyakit yang ditimbulkan oleh perubahan iklim akibat pemanasan global, diantaranya penyakit lama timbul kembali, misalnya penyakit Malaria yang wilayah penyebarannya makin meluas, mengingat nyamuk berkembang biak pada suhu lembab dan panas, maka dengan bertambahnya nyamuk, maka kontak dengan manusia juga bertambah.
Dampak pemanasan global secara langsung (mis. pada suhu panas membuat manusia rentan sakit) dan dampak tidak langsung (mis. meningkatnya penyakit menular, antara lain : malaria, DBD,penyakit yang ditularkan melalui udara, melalui air) serta dampak jangka panjang, mis. perubahan tinggi air yang dapat mengakibatkan persediaan air bersih menurun, daerah yang kaya jadi miskin, yang dapat menimbulkan terjadinya konflik, dan kemudian menimbulkan masalah psikologi, mis. stress. Ada 35 jenis penyakit infeksi baru yang timbul akibat perubahan iklim, diantaranya ebola, flu burung, penyakit hewan yang dapat menular kepada manusia. Penyakit yang paling rentan terjadi di Indonesia, adalah penyakit degeneratif dan penyakit menular. Hal ini dapat dengan cepat berkembang pada masyarakat yang kondisi gizi kurang baik dan kondisi kesehatan lingkungan yang kurang memadai.
Sesungguhnya hal tersebut dapat dicegah, salah satu langkah pencegahan melalui Sistem Bio Informatika, yaitu penanganan perubahan dengan mengadakan peringatan dini sebelum terjadi wabah, maka diharapkan wabah penyakit dapat dicegah. Desa siaga mampu menjawab permasalahan ini. Selanjutnya mengendalikan perubahan yang terjadi akibat pemanasan global dengan mengendalikan sumbernya pada transportasi, pertanian, perilaku gaya hidup boros pada penggunaan energi, pembalakan hutan, dan semakin mengurangi pengrusakan ekosistem sehingga efek rumah kaca menurun, serta kita dapat mencegah dengan memelihara lingkungan hidup, yang dimulai dari diri kita sendiri.
Secara politik bahwa kebutuhan akan peraturan penyelamatan lingkungan semakin mendesak, karena dampak dari pemanasan global sangat luas, tidak terbatas pada masalah lingkungan dan dampak ekonomi saja, namun menyangkut kesehatan manusia. Sehingga diperlukan upaya advokasi kepada ahli kesehatan untuk lebih aktif terlibat dalam pembuatan peraturan tentang penggunaan energi dan konservasi lingkungan. Serta para pemimpin politik diharapkan mempunayai kemauan untuk menyiapkan tindakan yang cepat dalam menghadapi berbagai wabah penyakit seperti demam berdarah dengue, sangt sensitif terhadap perubahan iklim.




Dampak Yang Ditimbulkan Oleh Rumah Kaca Terhadap Lingkungan

"Suhu semakin panas, terik matahari di siang hari yang menyengat. Terkadang di siang hari sengatan matahari begitu terik, di sorenya tiba-tiba saja hujan lebat mengguyur. Inilah yang disebut dengan cuaca ekstrim, yang melanda sebagian besar belahan dunia, termasuk Indonesia yang merupakan efek rumah kaca tersebut," katanya di Padang, Minggu.

Di Sumatera Barat yang 80 persen kawasannya adalah perbukitan dan hutan tropis, efek rumah kaca juga telah dirasakan sejak lima tahun terakhir.

Ia menjelaskan, efek rumah kaca merupakan istilah atau dalam bahasa inggris disebut dengan "green house effect". Istilah itu berasal dari pengalaman para petani yang tinggal di daerah beriklim sedang, yang memanfaatkan rumah kaca untuk menanam sayuran dan juga bunga-bungaan.

Mengapa para petani menanam sayuran di dalam rumah kaca? Karena di dalam rumah kaca suhunya lebih tinggi dari pada di luar rumah kaca, katanya.

Suhu di dalam rumah kaca bisa lebih tinggi, karena cahaya matahari yang menembus kaca akan dipantulkan kembali oleh benda-benda di dalam rumah kaca sebagai gelombang panas yang terperangkap dan tidak bercampur dengan udara dingin di luar ruangan

"Dari pengalaman para petani itulah dikaitkan dengan apa yang terjadi pada bumi dan atmosfir, sehingga muncullah istilah efek rumah kaca," katanya.

Lapisan atmosfir paling bawah (troposfir) adalah bagian yang terpenting dalam kasus efek rumah kaca. Sekitar 35 persen dari radiasi matahari tidak sampai ke bumi. Sisanya yang 65 persen masuk ke dalam troposfir.

Dari 65 persen cahaya matahari yang ada di troposfir sekitar 51 persen radiasi sampai ke permukaan bumi. Radiasi yang diterima bumi, sebagian diserap oleh tumbuhan, tanah dan air laut dan sebagian dipantulkan.

"Radiasi yang diserap dipancarkan kembali dalam bentuk sinar inframerah," katanya.

Sinar inframerah yang dipantulkan bumi kemudian diserap oleh molekul gas yang antara lain berupa uap air atau H20, CO2, metan (CH4), dan ozon (O3). Sinar panas inframerah ini terperangkap dalam lapisan troposfir dan oleh karenanya suhu udara di troposfir dan permukaan bumi menjadi naik.

"Dari kondisi itu maka terjadilah efek rumah kaca. Sementara gas yang menyerap sinar inframerah disebut Gas Rumah Kaca," katanya.

Menurut dia, efek rumah kaca itu sangat penting karena jika tidak ada efek rumah kaca, maka suhu rata-rata bumi bisa mencapai minus 180 derajat celcius. Jadi dengan adanya efek rumah kaca menjadikan suhu bumi layak untuk kehidupan manusia.

Suhu meningkat panas yang terjadi saat ini diakibatkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca secara global akibat kegiatan manusia terutama yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara) seperti pada pembangkitan tenaga listrik, kendaraan bermotor, AC, komputer, memasak termasuk pembakaran lahan dan hutan.

"Hal tersebut merupakan penyebab dominan pemanasan global yang terjadi saat ini," katanya.

Pengurangan dampak negatif
Menurut Koordinator Pusat Studi Lingkungan Wilayah I Sumatera Prof Dr Ir Nasfryzal Carlo MSc, ancaman tersebut sudah dirasakan dengan fakta-fakta menunjukan bahwa, pertama, es di kutub utara dan selatan telah mencair sehingga menambah volume dan permukaan air laut yang akhirnya membawa dampak banjir rob tanpa turunnya hujan.

"Fakta kedua, pola hujan berubah-ubah; dulu guru kita mengajarkan bahwa musim hujan dimulai pada September hingga Maret dan musim kemarau pada April-Agustus. Tetapi, kini pada bulan yang berakhiran `ber` beberapa tempat tidak terjadi hujan bahkan terjadi musim kemarau sehingga masyarakat sulit mencari air," katanya.

Ia menyebutkan, dari hasil penelitian ditemukan bahwa musim kemarau mengalami percepatan 40 hari dan musim hujan mundur sampai 40 hari.

Artinya, kemarau menjadi lebih lama 80 hari dan musim hujan berkurang 80 hari. Dengan demikian, prediksi kedatangan musim hujan ataupun kemarau sulit ditentukan, dan mengakibatkan kerugian bagi petani akibat tidak tepatnya dalam penentuan musim tanam.

"Fakta ketiga, sering terjadinya gelombang El Nino dan La Nina," katanya.

El Nino menyebabkan kekeringan dan suhu yang lebih panas dan terjadinya serangan gelombang panas. Sedangkan La Nina merangsang peningkatan curah hujan di atas normal, katanya.

Fakta lain, lanjut dia, mencairnya gletser-gletser sebagai cadangan air dunia. Terakhir, perubahan iklim juga dituding sebagai penyebab berkembangnya serangga ulat bulu (desiciria inclusa) di Probolinggo yang juga sudah sampai di Sumbar.

Menurut Nasfryzal Carlo yang juga Direktur Pascasarjana Universitas Bung Hatta Padang, ada enam gas yang dinyatakan sebagai gas rumah kaca dengan kondisi berbeda memerangkap panas dan meningkatkan suhu udara, samudera, dan permukaan bumi.

Polutan pertama adalah karbondioksida (CO2) dari pembakaran batu bara untuk listrik dan pemanas, pembakaran produk dari fosil seperti bensin, solar, bahan bakar pesawat pada kegiatan transportasi dan industri.

"CO2 juga berasal dari akibat perubahan tata guna lahan yang disebabkan karena kebakaran hutan, pembukaan hutan akibat eksplotasi dan eksplorasi dalam pertambangan," katanya.

Penyebab kedua adalah metana yang dibuat manusia dari aktivitas pertanian, kotoran ternak, penanaman padi, dan dari limbah organik di tempat pembuangan sampah.

"Jelaga atau karbon hitam yang berasal dari pembakaran kayu, kotoran hewan dan sisa-sisa tanaman pangan untuk memasak dan pabrik batu bata menjadi penyebab ketiga pemanasan global," katanya.

Penyebab keempat, lanjut dia, berasal dari bahan-bahan kimia khloroflorokarbon (CFC) yang banyak dijumpai pada peralatan pendingin (kulkas, AC) dan tabung penyemprot parfum.

Karbon monoksida dan senyawa organik yang mudah menguap volatile organic compound (VOC) merupakan penyebab pemanasan global kelima.

Karbon monoksida, katanya, paling banyak dihasilkan dari knalpot mobil-mobil dan motor di jalan raya. VOC berasal dari proses-proses industri dunia.

Penyebab terakhir adalah nirus oksida yang berasal dari proses pertanian yang mengandalkan pupuk nitrogen atau pupuk amonia yang berbahan dasar kimia.
(ANT)

Visitors

Designed by Animart Powered by Blogger